Malamnya setelah mulai tenang aku menceritakan semuanya pada tante Selena, sama sepertiku tante Selena menjadi begitu marah dengan apa yang dia dengar. Aku terpaksa menceritakan semua kesulitanku pada tante Selena. Hanya dengan begitu tante Selena bisa membantuku dan Ibu, akupun merasa bersalah karena terus membiarkan tante Selena merasa sedih.
Aku memintanya untuk tak memberitahukan hal ini kepada Ibu, apapun yang terjadi. Seharian Ibu tak bangun dari tempat tidurnya, sepertinya Ibu begitu sedih karena mengalami kejadian tadi siang.
“Kita pindah dari sini, kamu juga pindah dari sekolah, kita cari sekolah yang jauh lebih baik” ujar tante Selena.
Aku tersenyum pahit, jika aku pergi saat ini maka mungkin aku akan menyesali banyak hal. Setidaknya aku ingin masalah ini berakhir lebih dahulu.
“Kalo aku pergi sekarang, mereka bakal terus berpikir aku ngelakuin semua itu. Aku mau selesaiin semuanya dulu, aku bisa buktiin kalo apa yang mereka pikir, semuanya salah” jawabku.
“Kenapa kamu sembunyiin masalah kayak gini? Kan ada tante, memang tante ga berguna banget?” tanya tante dengan suara gemetar.
“Maaf, Mika gak mau semuanya susah” ucapku.
Tante Selena memelukku erat, aku bisa mendengar isak tangisnya dengan begitu jelas, “Pasti berat kamu ngehadapin semuanya sendirian” ucap tante Selena.
“Ini makanya aku gak mau cerita sama tante, jadi nangis terus kan” ujarku meledek.
“Makasih kamu udah bertahan, tante mungkin gak bisa selalu ada di samping kamu, kalo emang terlalu berat kamu bisa kasih tahu tante. Kita cari jalannya sama-sama” ucap tante Selena.
Meski berat tapi aku tetap datang ke sekolah, hari ini bahkan bukan hanya para murid bahkan para guru juga ikut mencibirku. Akan lebih baik jika mereka semua mengabaikanku seperti sebelumnya, aku tak tahu sampai kapan aku bisa bertahan dengan keadaan yang seperti ini.
Lagi, wali kelas memanggilku untuk membahas masalah kemarin. Ia terus memohon agar aku bisa memilih antara keduanya, memohon maaf kepada keluarga Ina atau keluar dari sekolah. lalu aku tak memilih keduanya, membuat wali kelas frustasi dan merasa bersalah karena tak bisa melakukan apapun untuk murid-muridnya.
“Mika, bukannya lebih baik kalau kamu meminta maaf dulu, kamu gak kasihan lihat kondisi Ibu kamu, Ibu prihatin dengan kondisi keluarga kamu, Ibu tahu kehidupan kamu sulit, jadi sebaiknya damai saja dengan keluarga Ina, atau pindah ke sekolah lain mungkin lebih baik daripada di sini” ungkap wali kelasku.
Aku tercengang mendengar perkataan tersebut keluar dari mulut wali kelasku, sebelumnya beliau adalah wanita yang tegas dan ramah namun perbuatannya padaku saat ini terlihat begitu berbeda dari sosok dirinya yang selama ini aku kenal.
“Bu, saya gak akan minta maaf sama mereka, saya sama sekali gak bersalah” ucapku.
“Mika tolong jangan mempersulit Ibu, kamu cuma harus minta maaf, sebentar lagi ujian kenaikan kelas tolong kamu lebih dewasa sedikit” ucapnya.
Aku berusaha menahan perasaanku sekuat mungkin, percuma saja membela diriku di sini tak ada yang akan mendengarkanku sama sekali.
“Sekali lagi Ibu peringkatkan, sebaiknya kamu meminta maaf, tidak peduli siapa yang bersalah kamu harus bisa berlapang dada untuk menyadari sebuah kesalahan” ucapnya lagi.
Aku sedikit membungkuk dan berjalan meninggalkan ruang guru namun sebelum itu langkahku terhenti dan kembali berbalik menuju meja wali kelas.
“Saya gak perlu rasa kasihan dari Ibu, hidup saya baik-baik saja” pungkasku sebelum benar-benar meninggalkan ruang guru.
Aku berjalan di lorong dengan langkah berat, aku bahkan menolak untuk menatap ke arah anak-anak lain, telingaku sakit mendengar cemoohan orang-orang di sekitarku. Aku berpapasan dengan Ina yang nampak gugup di hadapanku, aku menatapnya sendu dan berusaha untuk melewatinya.
Namun langkahku terhenti aku ingin menanyakan alasannya melakukan hal tersebut padaku, aku ingin dia mengatakan semuanya.
“Kenapa lo ngelakuin itu?” tanyaku saat kami sudah tak saling berhadapan.
Aku berbalik badan menghadap ke arah Ina membuatnya juga berbalik ke arahku.
“A-apa?” tanyanya terbata.
“Di kolam renang sama di ruang kepala sekolah, kenapa jadi gue yang dorong lo?" tanyaku.
Mata Ina tampak cemas, ia terus menghindari tatapanku seakan ada suatu hal yang ia sembunyikan.
“Apa gue pernah nyakitin lo? Apa salah gue sampe mama gue harus berlutut di hadapan keluarga lo” tanyaku.