Sepulang sekolah aku dan Yian berjalan bersama melewati gerbang sekolah, lalu Arlen berjalan melewati kami. Padahal jelas kami baru saja bertukar tatapan, mungkin saja ia masih marah karena masalah sebelumnya. Padahal dia sendiri yang bilang tak akan menghindariku, tapi dia berjalan begitu saja melewatiku.
Begitu sampai di halte bus dekat rumah aku dan Yian berjalan perlahan menuju pulang.
“Lo gimana akhir-akhir ini?” tanyaku canggung.
“Hah? Hm…baik, kenapa?” tanyanya balik.
“Lo setiap hari makan teratur kan?” tanyaku.
“Hm…sebenernya akhir-akhir ini pencernaan gua lagi ga baik, kayaknya gara-gara gua keseringan makan makanan luar” ucapnya.
“Kenapa lo gak masak sendiri? Kan lo bisa masak” ucapku.
“Bentar lagi ujian, waktu gua abis sama belajar” jawabnya.
Benar saja, selama ini Yian tinggal sendirian pasti tak begitu mudah baginya untuk melakukan semua hal sendiri. Padahal ia sampai merelakan waktunya demi diriku, jika saja aku juga marah padanya sama seperti yang kulakukan pada Arlen barusan, akan sesulit apa baginya menanggung rasa kecewanya.
Alih-alih meminta maaf dengan kata-kata aku ingin melakukan hal lain untuknya, aku tak ingin merasa begitu bersalah karena telah merenggut kebahagiaannya.
“Mika” panggil tante Selena yang baru saja keluar dari sebuah tempat makan dengan beberapa kantong di genggamannya.
“Tante” sapaku.
“Mau pulang? Ayo Yian juga biar saya antar” ajak tante Selena.
“Hm…tante, Mika boleh gak mampir ke rumah Yian sebentar?” tanyaku meminta persetujuannya.
“Hm? Berdua aja?” tanyanya.
“Bertiga! Sama saya” saut Arlen yang tiba-tiba muncul entah darimana.
“Oh, kalau bertiga gapapa deh. jam 8 malam udah pulang ya!” ucap tante Selena.
“Iya makasih tante” ucapku kemudian memeluk tante Selena gembira.
Kami akhirnya sampai di tempat tinggal Yian, Arlen duduk di sofa yang ada di ruang tengah dengan santai. Keduanya masih tampak tak dekat, mereka terlihat seperti anak kucing. Kalau di ibaratkan, Yian adalah anak kucing berbulu putih seperti salju ia selalu bersikap baik dan tenang. Kemudian Arlen adalah anak kucing berbulu hitam pekat, ia aktif dan senang bermain-main lalu terkadang juga bisa menjadi menyebalkan.
“Kenapa lu ikutan ke sini?” tanya Yian kepada Arlen yang duduk di hadapannya.
“Hey! Jadi gua gak boleh dateng ke sini nih? Wah gak tau diri, padahal kemarin siapa yang ngabisin lobster kesukaan gua?” sindirnya.
“Udah, udah. Nah Yian, di kulkas lo ada apa aja?” tanyaku.
“Kulkas?” tanyanya kemudian bergegas membuka kulkas di dapurnya.
Kebanyakan laki-laki yang tinggal seorang diri pasti tak banyak memiliki bahan makanan di kulkas dan dapurnya, harusnya sebelum datang kami berbelanja terlebih dahulu.
“Kalo gak ada apa-apa, seenggaknya ada telu…”ucapku terputus.
“Wow, lengkap” gumamku lagi setelah mengetahui isi kulkas di rumah Yian yang lengkap nampak seperti di supermarket.
“Karena semua bahannya ada di sini berarti lo bisa makan semuanya kan, gak ada alergi?” tanyaku memastikan.
“Gua alergi telur” sahut Arlen dari ruang tengah.
Aku mengambil beberapa bahan yang ku perlukan menuju meja, termasuk telur. Arlen dan Yian duduk di ruang tengah sembari bermain PlayStation bersama.