Sejak pagi hujan deras turun membasahi kota, aku menjulurkan telapak tanganku membiarkan rintikan hujan jatuh membasahi. Kemudian Yian datang bersamaan dengan angin dingin, ia berdiri di sampingku sembari menjulurkan telapaknya membiarkan sentuhan dingin dari air hujan jatuh di atas telapaknya.
Aku menoleh ke arah Yian lalu melemparkan senyuman tipis, berkat hujan suasana hatiku sedikit terasa tenang. Aku bisa menatap hujan tanpa harus memikirkan apapun, rasanya cukup menyenangkan.
“Inget gak dulu kita pernah ketemu di pemakaman, terus kita ketemu lagi di depan mini market, lo juga kasih payung lo buat gue waktu ujan, waktu itu gue pikir lo cowo aneh. Gue gak pernah nyangka kalo ternyata kita temenan waktu kecil, apalagi liat lo sekarang yang udah banyak berubah” ungkapku, mengingat masa lalu.
“Hahah” tawanya menanggapi ucapanku.
“Makasih banyak, Yian” ucapku tulus berterima kasih padanya.
“Makasih juga Mika” balasnya.
“Buat apa?” tanyaku bingung.
“Udah inget gua” jawabnya.
Kami saling bertukar pandangan dan melemparkan senyuman pada satu sama lain. Jika saja Yian tak pernah datang kepadaku, apa mungkin kini aku akan sanggup bertahan seorang diri. Aku tak ingin kehilangan dirinya, dia telah menjadi seseorang yang amat berharga bagiku.
Aku kembali ke kelas dan menemukan kantong tas berisi seragam sekolah. Aku menoleh ke kiri dan kanan mencoba mencari tahu siapa yang meletakan katong tersebut di atas mejaku.
“Yian?” batinku.
Kemudian aku berjalan menuju mejanya dan menanyakan hal tersebut, namun ia bersikeras bahwa bukan dirinya yang meletakan kantong tersebut. Kemudian aku menuju kelas Arlen untuk menanyai hal yang sama padanya. Aku berdiri di depan kelasnya sembari menggenggam kantong tersebut.
“Ngapain lo di sini?” tanya Karla ketus.
Aku berusaha untuk tak menanggapi Karla namun ia dengan kasar mengambil kantong di tanganku begitu saja, ia juga memeriksa isi dalam kantong tersebut.
“Apaan sih lo? Balikin” geramku.
“Seragam?” gumamnya.
Kemudian Arlen datang dan merebut kantong tersebut dari Karla, ia menatap Karla tajam dengan raut wajah dinginnya.
“Lo beliin ini buat dia?” tanya Karla.
“Minggir sana” ujar Arlen.
Arlen kemudian menarikku menjauh dari kelasnya, kami pergi menuju atap.
“Nih” ucapnya sembari mengulurkan dua kantong tas.
“Apalagi? Ini juga dari lo kan?” tanyaku bingung.
“Engga, ini punya lu yang tadi” ucapnya.
Aku membuka kantong pemberiannya, isinya sama dengan kantong satunya.