Siang itu wali kelas mengajukan beberapa pertanyaan, tentu saja Irene menuduhku telah melukainya tanpa sebab. Aku dengan sisa tenagaku mencoba menjelaskan apa yang terjadi, aku bahkan meminta maaf atas sikapku.
“Kenapa lu yang minta maaf?!” geram Arlen.
“Arlen! kamu diam, Ibu bertanya pada Mika” tegur wali kelas.
“Ya, gak bisa gitu dong bu!” balas Arlen.
Aku menyentuh tangan Arlen untuk menenangkannya, percuma saja berteriak di hadapan mereka.
“Mika, kamu akan terus seperti ini? masalah dengan Ina saja belum selesai tapi sekarang kamu malah membuat masalah lain. Ibu akan panggil orang tua kamu, jadi jangan pikir kamu bisa menghindar lagi” ujarnya.
“Orang tua bu?” ucap Irene.
“Iya, Irene panggil juga orang tua kamu. Bukan berarti hanya Mika yang salah, kamu juga sudah menyebabkan keributan di tengah ujian” ujarnya.
“T-tapi bu, saya kan korbannya” keluhnya.
“Cih, korban…” gumam Arlen mencela Irene.
“Arlen, kamu juga bawa orang tua kamu. Biar saya yang bicara dengan wali kelas kamu setelah ini” ucap wali kelas.
“Jangan bu, Arlen kan gak salah apa-apa” ujarku.
“Sekarang bukan waktunya kamu untuk mengeluh. Kalian kembali ke kelas, ujian kembali di mulai” ucapnya.
Di depan ruang guru Yian telah menunggu kami, ia menatapku dengan cemas.
“Akting lu ternyata lebih hebat dari yang gua pikir” sindir Yian.
“Hah?” ucap Irene terkejut.
Yian menarikku menjauh dari tempat tersebut, kami menuju ke kelas untuk melanjutkan ujian. Yian terus bertanya apa aku baik-baik saja, apa tak ada yang terluka. Namun aku tak bisa menjawab pertanyaannya tersebut, aku sendiri tak tahu apa aku baik-baik saja.
Aku tak ingin bicara ataupun mengangkat kepalaku, aku menyelesaikan ujian dengan tenang. Lalu, kembali ke rumah sakit untuk menemui Ibuku.
Hari kembali berganti, namun Ibu masih belum sadarkan diri. Melihatnya terbaring lemah seperti saat ini, sungguh membuat hatiku sakit. Aku melihat kembali rekaman kamera pengawas di ponselku, entah telah berapa kali rasanya masih sangat menyedihkan. Padahal saat itu Ibu tersenyum begitu lebar, keadaannya baik-baik saja.
Di sekolah pertemuan orang tua kembali di adakan, aku tak menyangka karena perbuatanku kemarin, menyebabkan murka untuk kedua orang tua Irene dan orang tua siswa lainnya.
Wali kelas terus mendesakku untuk memanggil Ibu ke sekolah, aku terus mengatakan aku tak bisa melakukan hal tersebut sebab Ibu sedang terbaring di rumah sakit.
“Kamu mau bohong sama saya? Beraninya kamu buat alasan seperti itu!” geram wali kelas.
Aku terdiam melihat reaksinya, memang kenyataannya Ibu sedang koma di rumah sakit.
“Memangnya kamu tidak punya anggota keluarga lain? Cepat panggil siapapun untuk jadi wali kamu” desaknya.
Aku tak ingin merepotkan tante Selena, setelah melihatnya seperti kemarin aku mana tega membuatnya khawatir lagi.
“Panggil ayah atau nenek kamu” ucapnya lagi.
Namun aku tak punya ayah ataupun kakek dan nenek.
Wali kelas nampak frustasi namun apa boleh buat, aku juga tak bisa melakukan apapun. Akhirnya rapat di lakukan tanpa adanya wali dari pihakku. Aku duduk di depan para orang dewasa, kepala sekolah, wali kelas bahkan beberapa guru yang terlibat. Aku merasakan tatapan dingin dari para wali murid lainnya.
Tubuhku gemetar namun aku tak ingin menunjukkan hal itu pada semua orang, aku akan mencoba untuk bertahan. Aku ingin membela diriku atas semua hal yang telah mereka tuduhkan padaku. Tapi, aku tak memiliki bukti ataupun kekuatan lainnya untuk membuktikan bahwa aku tak bersalah.