Aku duduk di lantai sembari memeluk lututku, aku merasa lebih takut dari hari biasanya. Perasaanku saat ini membuatku merasa begitu sesak, aku mulai lelah dengan semua yang telah terjadi sampai saat ini.
Tepat di saat itu, anak laki-laki tante Sarah dan om Rama berdiri di hadapanku. Aku menatapnya terkejut, mengapa anak ini ada di hadapanku.
Ia mengulurkan sebatang permen padaku, aku menatapnya dengan bingung dan segera bangkit dari dudukku.
“Buat kakak” ucapnya.
Aku masih membisu tanpa menjawab ucapan anak tersebut. Tahukah dia bahwa aku sangat membenci kedua orangtuanya, aku juga pernah berharap agar ia tertabrak truk pada hari itu.
Aku berlalu meninggalkannya, lalu anak tersebut menggenggam tanganku. Ia membuatku mengenggam permen pemberiannya, karena begitu marah aku langsung melempar permen tersebut ke lantai.
“Kenapa di buang kak? Kakak gak suka permen?” tanyanya dengan polos.
“Ibu kamu yang suruh kamu nemuin saya?” tanyaku dengan dingin.
Ia menggeleng dengan tatapan polosnya kemudian memungut permen yang barusan ku lempar ke lantai. Anak tersebut mengepalkan permen tersebut pada genggamanku dan tersenyum dengan cerah.
“Karena kakak lagi sedih, kakak harus makan permen ini. kata papa, kalau Karel lagi sedih Karel boleh makan satu permen, jadi kakak juga boleh makan satu permen” ucapnya.
Mataku perih menahan air mata yang siap jatuh, denyut jantungku terasa menyakitkan. Aku berbalik berjalan menjauh dari anak tersebut. Lalu, langkahku terhenti aku merasa aneh pada diriku sendiri. Bukankah seharusnya aku membenci anak tersebut, namun kenapa hanya karena ucapannya yang kekanak-kanakan tersebut kini hatiku merasa lemah.
Aku berbalik dan menatap ke arahnya yang masih memandangku dengan tatapan tak bersalah di matanya.
“Kenapa kamu sendirian di sini? mana Ibu kamu?” tanyaku.
“Mama lagi ketemu om dokter, aku mau cari mama tapi aku takut naik itu sendiri” ucapnya, sembari menunjuk elevator di ujung lorong.
Baiklah, aku sama sekali tak peduli, aku harusnya tak usah bertanya. Namun kakiku terus berjalan mendekati anak tersebut.
“Ayo, kakak anter” ucapku.
Aku dan anak laki-laki tersebut berjalan menuju elevator, setelah berada di dalam dengan tiba-tiba anak tersebut menggenggam tanganku. Melihatnya terlihat ketakutan, pada akhirnya aku membiarkannya menggenggam tanganku.
“Kenapa kamu minta tolong sama kakak?” tanyaku.
“Karena kakak kan orang baik” jawabnya.
“Kamu tau dari mana?” tanyaku lagi.
“Iya dong! Ibu kakak aja baik udah nyelamatin Karel. Berarti kakak juga baik” ungkapnya.
Aku kehabisan kata-kata selain menghela napas berat. Kami tiba di lantai bawah, anak laki-laki tersebut melepaskan genggamannya dan berjalan keluar dari elevator.
“Makasih kak” ucapnya sembari tersenyum ceria.
Aku menatapnya dengan dalam, anak tersebut mungkin memang tak memiliki kesalahan apapun tapi bukan berarti aku akan berhenti membencinya. Seharusnya begitu.