Dear, diary

Liepiscesha
Chapter #66

Chapter 65

Malam kemarin aku menemani Ibu yang terlelap di malam hari, aku menggenggam tangannya dengan lembut. Kini Ibu sama sekali tak mengenaliku, ia tak bisa mengingat aku sebagai putrinya.

Perlahan air matanya mulai berderai, aku bertanya-tanya apa yang Ibu mimpikan dalam tidurnya. Apa sesuatu yang menyakitkan, apa Ibu melihat semua hal yang telah menyakitinya di dalam mimpi. Aku tak benar-benar mengetahui isi hati Ibuku, hal apa yang selama ini ia pendam seorang diri.

Apa mungkin, Ibu yang kehilangan seluruh ingatannya merupakan hal yang lebih baik dari sebelumnya. Mungkin saja ibu tak akan lagi mengingat hal-hal menyakitkan yang selama ini mengganggunya, apa lebih baik karena ibu tak bisa lagi mengingat semua hal itu.

Lalu, apakah dengan hilangnya memori di kepala Ibu kini Ibu bisa lepas dari semua penderitaannya. Mungkinkah Ibu bisa lebih bahagia dengan seluruh kenangan yang hilang tersebut.

Benar, setidaknya kini ibu telah kembali dari masa kritisnya. Seharusnya aku tak boleh  lagi mengeluhkan hal lainnya.

Sinar hangat matahari membangunkanku, aku bergerak dari tempat tidurku dan bersiap pergi ke sekolah. Meski langkahku terasa berat selama perjalanan menuju sekolah, aku tetap harus melangkah ke tempat itu.

Aku meletakan kepalaku di meja begitu guru keluar dari kelas, hari inipun aku masih harus menemui wali kelas. Rasanya sungguh melelahkan, masalah ini tak kunjung berakhir.

Dadaku sesak setiap kali berada di ruangan yang sama dengan Irene, ia kini lebih terang-terangan dalam membenciku.

“Pulang nanti mau langsung ke rumah sakit?” tanya Yian.

“Iya, hari ini mama gue udah bisa pulang ke rumah” jawabku.

Begitu sekolah berakhir aku dan Yian pergi menuju rumah sakit, aku mengemas beberapa barang Ibu untuk di bawa pulang.

“Tante ke bawah dulu ya” ucap tante Selena, hendak pergi membayar biaya administrasi rumah sakit milik Ibu.

Ibu duduk di ranjang dan menatap keluar jendela, aku mengikuti arah tatapannya. Pasti Ibu senang karena bisa keluar dari rumah sakit ini.

“Yian, bisa jaga Ibu gue sebentar? Gue mau ke toilet” ucapku.

“Iya, Ka” jawab Yian.

“Mah, Mika ke toilet sebentar ya. Di sini ada Yian yang nemenin mama” ucapku mendekat pada Ibuku.

Ibu hanya mengangguk pelan dan membiarkanku keluar dari ruangan.

Begitu keluar dari toilet aku berjalan di lorong rumah sakit menuju ruangan inap Ibu, kemudian lagi-lagi aku berpapasan dengan anak laki-laki itu.

“Karel?” panggilku dari belakang.

“Oh! Kakak” serunya, dengan raut wajah ceria.

Aku menatapnya dengan heran, anak itu memakai pakaian rumah sakit. Wajahnya yang ceria terlihat pucat pasi, aku bertanya-tanya apa yang terjadi padanya.

“Kamu kok keluyuran sendirian terus sih?! Mana sih Ibu kamu?” omelku.

“Mama lagi berantem sama om, aku takut jadi aku lari ke sini” ungkapnya.

“Berantem?” batinku.

“Kakak mau gak, main sama aku?” tanyanya, dengan mata berbinar.

“Eum…”

Haruskah aku menemani anak ini, hubungan kami sangat buruk untuk bisa bersama seperti ini. Rasanya sangat aneh dan canggung.

Lihat selengkapnya