Malam kemarin aku meminta Yian untuk datang dan kami mengantar Sophia pulang ke rumahnya. Selepas mengantar Sophia, aku dan Yian berjalan dengan tenang menuju rumah. Jalanan masih basah karena hujan tadi sore, hari semakin gelap hanya penerangan dari lampu-lampu toko dan jalanan yang menjadi penerang kami.
“Sophia udah tau semuanya, lu gapapa?” tanya Yian.
“Gapapa, tapi gue masih khawatir karena kayaknya Sophia kecewa banget sama Irene” ucapku.
“Lu, masih aja mikirin perasaan orang lain. Emangnya lu gak bisa, lebih khawatirin perasaan lu daripada perasaan orang lain?” tanya Yian.
“Apa sih, kok lo jadi aneh banget” ujarku, menanggapi ucapan Yian.
“Bukan gua yang aneh, lu yang aneh!” balasnya.
Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke arah Yian dengan tatapan heran.
“Lo kenapa sih?” tanyaku cemas.
“Udahlah, buruan, keburu malem” ujarnya lalu berjalan mendahuluiku.
“Ya, emang udah malem daritadi” sahutku.
Hari ini ujian sekolah telah berakhir, untuk pertama kalinya lagi aku kembali makan siang bersama Sophia di kantin sekolah. Irene nampak begitu kesal, Sophia mengatakan padaku bahwa kemarin ia menemui Irene untuk mendengar penjelasaanya. Irene mengakui semua perbuatannya, namun ia tak merasa bersalah dan malah memusuhi Sophia, meski Sophia terus tertawa di hadapanku aku bisa merasakan bahwa hatinya sedang tidak baik-baik saja.
Pasti sulit baginya untuk bisa memahami apa yang terjadi di antara kami. Posisinya lebih sulit karena ia berada di tengah dan tak tahu tentang apapun, akupun merasa bersalah padanya karena tanpa sadar telah membuatnya merasa tak di hargai sebagai sahabat.
“Mika, lo gak usah merasa bersalah sama gue. Awalnya gue memang marah karena lo gak cerita apapun sama gue, gue ngerasa kalo lo gak bisa percaya sama gue. Tapi gue juga mikir, mungkin ada alasan kenapa lo gak ngasih tau semuanya sama gue, karena ujungnya gue memang sempet gak percaya sama lo dan malah nuduh lo yang engga-engga” ungkapnya.
“L-lo bisa baca pikiran gue?” ujarku.
“Keliatan dari muka lo” balasnya.
“Makasih ya, lo udah ngertiin gue” ucapku.
“Makasih juga lo udah maafin gue” ucapnya.
“Pemandangan apa ini” ujar Leo yang duduk di hadapanku dan Sophia.
“Syukur deh lu udah sadar” sahut Arlen.
“Sorry, ya. Yian, gue udah ngancem lo kemarin. Abisnya kalo gak kayak gitu lo pasti gak mau cerita kan soal masalah ini” sesal Sophia.
“I-iya” jawab Yian.
Leo menepuk pundak Yian untuk sekedar menenangkan Yian, aku menatap bingung karena tak tahu apa yang telah terjadi kemarin, namun sepertinya Sophia telah melakukan sesuatu pada Yian agar membuat Yian bicara. Aku cukup mengenal Sophia, terkadang dia bisa sedikit ekstrem saat melakukan sesuatu.
“Jadi, sekarang lo mau gimana buat nyelesaiin ini? apa gue harus sebarin ke anak-anak lain kalo Irene yang udah bikin rumor soal lo?” tanya Sophia.
“Gue gak mau bikin kalian ikutan kena masalah, bisa gak kalian gak usah ikut campur?” tanyaku dengan hati-hati.
“Ikut campur kata lo?!” geram Sophia.
“I-iya” jawabku terbata.
“Di sini gak ada yang berhak buat ngatur gua, gua mau ngelakuin apapun itu terserah gua, jadi kalo gua mau bantu lu, itu terserah gua” ujar Arlen.