Dear, diary

Liepiscesha
Chapter #73

Chapter 72

Yian berjongkok di hadapanku, mata kami saling bertemu. Yian menepuk kepalaku lembut, ia melemparkan senyuman padaku, seakan memberitahuku bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Yian mengulurkan tangannya, dan berdiri bersamaku. Ia menggandengku sampai kami tiba di taman. Yian menungguku tenang sebelum akhirnya dia memintaku untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.

“Kalo lu gak bilang apa-apa, gua gak akan tau kan? Emangnya gak bisa lu kasih tau gua apa masalahnya?” tanyanya.

“Yian, gue ngerasa gue bukan gue, gue ngelakuin semua hal yang gak seharusnya gue lakuin. Gue bahkan berharap seseorang meninggal, gue juga ngelukai oranglain dengan tangan gue sendiri, gue bahkan ngucapin hal itu ke Arlen. Gue gak tau harus gimana, gue bingung sama diri gue sendiri, gue bingung sama semua yang terjadi” ujarku dengan histeris.

“Tenang Mika” ucapnya, sembari menggenggam tanganku.

Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri namun aku tak bisa merasa lebih tenang. Aku merasa seolah hilang arah, aku juga merasa telah kehilangan diriku sendiri. Rasanya aku seperti hidup tanpa jiwa, aku hanya melakukan semua yang harus aku lakukan, aku bahkan tak pernah memiliki waktu untuk merasakan apa yang harusnya aku rasakan. Aku pikir selama ini aku baik-baik saja, ku pikir tak akan menjadi masalah jika aku tak menunjukkan perasaanku. Ku pikir aku akan baik-baik saja jika aku harus menahannya, ku pikir aku baik-baik saja jika hanya seperti itu.

“Lu mau nangis? Lu mau gua nutupin lu?” tanyanya.

Aku menundukkan kepalaku dan mulai menangis lagi, aku mengeluarkan semua perasaanku. Yian menutupiku dengan payungnya, sehingga oranglain tak bisa melihatku.

Rasanya aku tak bisa berhenti menangis, hatiku terasa begitu sakit. Waktu terus berlalu, kupikir aku harus segera berhenti.

“Gapapa?” tanya Yian lagi, begitu aku selesai menangis.

“Ekhm…iya” jawabku.

“Lu mau minum?” tanyanya.

Aku menggeleng pelan, “Gak usah” jawabku.

“Jadi kenapa?” tanya Yian.

“Gue udah nyakitin Arlen” ucapku.

“Kenapa?”

“Arlen, gue udah ngomong sesuatu yang buruk ke dia. Gue rasa sekarang Arlen pasti kecewa banget” ucapku.

“Lu ngungkit masalah dia waktu smp?” tanya Yian.

“Lo tau darimana?” tanyaku.

“Irene juga ngancem gua, soal masa lalu kita” ungkap Yian.

“Irene…” sesalku.

“Lu mau pindah karena masalah ini?” tanyanya.

“Bukannya gue gak percaya sama kalian. Tapi, gue gak mau kalian kena masalah” ujarku.

“Gua udah bilang, lu ga seharusnya terlalu mikirin oranglain. Yang harus lu lindungi pertama itu diri lu sendiri” ucapnya.

“Mau gimana lagi, gue gak bisa ngebiarin hal kayak gitu, gue gak mau orang-orang di sekitar gue terluka” jawabku.

Yian menghela napas berat, “Jadi lu kabur dari masalah?” tanyanya.

“Kalo gue bilang ini cara buat ngelindungin kalian aja, bisa gak? Lagian hidup gak selalu harus adil kan” ucapku.

“Dasar, pikiran lu terlalu luas” ujarnya sembari mengacak rambutku.

“Tapi, lo janji ya jangan kasih tau soal ini ke mereka. Gue gak mau mereka ngerasa bersalah” pintaku.

“Lu gapapa?” tanyanya lagi.

“Gak sih, gue juga sedih tapi cuma ini yang bisa gue lakuin. Yang penting semuanya baik-baik aja” jawabku.

Lihat selengkapnya