Selama berhari-hari aku tak bisa menemui Arlen, dia bahkan tak pergi ke sekolah. Aku juga tak bisa menemuinya di kafe seasony. Setiap hari aku menunggunya di depan rumahnya, tapi ia sama sekali tak pernah menunjukkan dirinya.
Aku telah mengetahui tentang permasalah Sophia, ia memang pernah bermasalah dengan temannya di tempat kursus bahasa Inggrisnya namun ia tak pernah merisak anak tersebut, Sophia hanya tak menyukai anak itu dan tak berbicara padanya karena anak itu selalu menyebarkan gossip tak benar. Leo memang pernah tertangkap karena balapan liar, tapi kini Leo sudah tak melakukan hal seperti itu lagi.
“Gue ngerti sih kalo memangnya lo gak percaya sama gue lagi, tapi gue tetep ngerasa sedih” gerutu Sophia.
“Gak gitu, kalo gue gak percaya sama lo, gue gak akan nanya ini ke lo” ujarku.
“Tapi, Mika. Emangnya lo harus banget pindah? Gue gapapa kok kalo misalnya Irene nyebarin soal itu, gue bisa yakinin anak-anak lain. Lagian juga dia kan sendirian” ujar Sophia.
“Sophia, menurut lo Irene bisa berubah gak?”
“Gak mungkinlah, lagian dia juga pasti malu banget kalo ketauan sama yang lain. Harusnya juga dia kali yang pindah, bukan lo” ujar Sophia.
“Hm, Sophia” panggilku.
“Kenapa?”
“Lo gak bisa tetep temenin Irene?” tanyaku.
“Lo gila? Lo tau sekecewa apa gue sama dia, terus lo ngomong gitu ke gue?” ujarnya.
“Gue minta maaf, tapi gue khawatir sama dia, sebenernya dia berusaha buat bunuh diri. Gue takut kalo kita ninggalin dia sendirian, dia bakal ngelakuin hal kayak gitu. Tolong, Sophia” ucapku, memohon.
“Hah… gue gak ngerti sama jalan pikir lo. Gue cuma harus ada di samping dia kan?” ucapnya.
“Lo mau?” tanyaku.
“Gue bakal dengerin dia, sebenernya gue juga khawatir sama dia” ucapnya.
“Makasih banyak Sop” ujarku.
“Lo bener-bener baik banget” gumamnya.
“Gak, lo lebih baik” balasnya.
“Cih” ujarnya sembari menahan tawa.
Meski terkadang aku memilih jalan yang terlalu sulit, meski nantinya aku yang akan menyesal karena pilihan tersebut. Aku harap, apa yang aku pilih bukanlah sesuatu yang salah, karena aku tahu semuanya akan berlalu dan apa yang aku pilih memanglah yang seharusnya terjadi.
Aku berlari mengejar Yian yang berlari kecil dengan kaki panjangnya, aku mendekatinya dan berusaha sebaik mungkin menggali tentang masa lalunya.
Ia menatapku dengan heran, aku berlari mundur sembari menatapnya dengan seksama.
“Yian, kalo di pikir-pikir lagi lo gak pernah cerita soal kehidupan lo di Amerika” ucapku, membuka pembicaraan.
“Memang kenapa?” tanyanya.
“Lo tau kan, gue pengen banget sekolah di luar negeri. Kalo lo gimana, kehidupan sekolah lo di sana seru?” tanyaku.
“Gitu aja, cuma berangkat sekolah, main, pulang” jawabnya.
“Oh…lo pasti punya pacar kan di sana? Ceritain dong, soal temen-temen lo juga” ujarku.
Ia menghentikan langkahnya dan menangkapku yang hampir tersandung.
“Lari yang bener” tegurnya.
“Jadi, gimana? Ceritain dong” ujarku, masih memancingnya.
“Apa yang lagi lu cari tau?” tanyanya, menyadari maksudku.
“Hm.. Yian sorry, gue gak bermaksud curiga sama lo. Tapi, lo pernah ngelakuin hal buruk sebelum dateng ke sini?” tanyaku.
“Apa? Ngerokok? Minum? Narkoba? Sex?” ujarnya terang-terangan.
“Heh! Pelen-pelen!” tegurku, sembari memukul pundaknya.
“Kalo gua kayak gitu, lu mau gimana? Lu bakal ngejauhin gua?” tanyanya.