Waktuku berlalu begitu saja, hari-hari di sekolah tak lagi menyulitkan untukku. Meski keadaan tak bisa kembali sama seperti sedia kala, setidaknya kini kami belajar untuk saling menghargai.
Tak ada hal yang akan bertahan selamanya, semuanya selalu berubah, begitu pula dengan peraasaan kami.
Bahkan hubungan yang kupikir akan selalu manis dan hangat, ternyata berakhir dengan begitu pahit hingga hampir membuatku mati rasa.
Jika saja aku tetap sendirian di jalanku, apakah aku akan tersesat begitu jauh. Andai saja aku tak mempercayai teman-temanku, mungkin aku telah benar-benar hancur dan berubah menjadi seseorang yang lain.
Tentu saja, aku masih menyayangkan akhir dari pertemananku dan Irene, kami tak lagi bisa bersama seperti dahulu. Berada di satu ruangan yang sama, rasanya begitu canggung untuk kami berdua.
Siang ini aku mengunjungi tempat tinggal Yian, tante Selena membuat terlalu banyak makanan dan memintaku untuk memberikan sebagian makanan untuk Yian.
“Banyak banget” ujar Yian.
“Gapapa, lo harus makan yang bener, jangan sampe karena lo tinggal sendirian lo gak bisa Menuhin gizi lo dengan baik” ucapku.
“Makan gua bener kok, kan lu selalu jadi temen makan gua” balasnya.
“Lo pikir gue bisa makan sama lo terus? Kalo gue gak ada gimana?” ujarku.
“Mana mungkin, kan kita selalu bareng-bareng” jawabnya.
Aku tersentak mendengar ucapan Yian, lalu menyembunyikan ekspresi sedihku.
“Kenapa kok lu keliatan murung?” tanyanya.
“Gapapa.. jangan lupa kalo mau makan panasin dulu di microwave ya” ujarku.
“Iya, bilang makasih ya sama mama lu, sama tante Selena juga” ucapnya.
“Oke” balasku.
Berhubung hari minggu, aku membersihkan seluruh sudut kamar tidurku. Rasanya cukup menyenangkan, membersihkan barangku sendiri, pikiranku juga ikut terasa bersih. Ada kepuasan tersendiri begitu melihat seisi ruangan nampak rapi.
“Aduh” rintih Ibu dari ruang tengah.
“Kenapa mah?” tanyaku, cemas.
“Ah, kuku mama patah” ujarnya.
“Ya ampun, sebentar ya mah Mika ambilin gunting kuku dulu” ucapku.
Aku mengambil pemotong kuku dari kamar tidurku, tiba-tiba aku teringat apa yang pernah ibu lakukan padaku saat itu. Aku mengisi air hangat pada bak kecil dan membawanya dengan hati-hati menuju ruang tengah.
“Loh, ngapain bawa air?” tanya Ibu.
“Dulu mama sebelum potong kuku, selalu rendam tangan dulu di air hangat” ucapku.
Aku menggenggam tangan Ibu dan memasukan kedua tangannya perlahan ke dalam air hangat. Aku menggosok jari-jari kukunya lembut, sembari memijat tangannya di dalam air.
“Oh, ya? Mama kayak gitu?” tanyanya.
“Iya, kan mama yang ngajarin Mika” jawabku.
“Menurut Mika, dulu mama kayak gimana?” tanyanya.
“Hm, mama orang yang sabar, tapi juga tegas. Mama juga gampang banget ketawa, mama selalu ngelindungin Mika. Selalu khawatirin Mika, mama orang paling baik yang Mika tau” ungkapku.
“Makasih Mika, mama beruntung bisa jadi Ibu kamu. Mungkin berat buat Mika karena mama gak bisa inget apapun, jadi mama minta maaf sama Mika. Mika mau izinin mama jadi Ibu yang baik buat Mika sekali lagi?” tanyanya.
“Mika juga bakal jadi anak yang baik buat mama” balasku.