Yang pertama kali aku lakukan saat melihat ibuku hanyalah tersenyum dengan mata yang berkaca, ia dengan wajah pucatnya tak kembali membalas senyumku. Matanya masih kosong, seakan tak ada bayanganku dimatanya.
Rasa sesak memenuhi dadaku, aku hanya bisa berdiri di hadapannya, berharap mata kami akan bertemu dan ia menyadari kehadiranku.
Sudah satu jam berlalu namun seakan waktuku berhenti begitu saja dan aku masih berdiri di hadapannya tanpa mengucapkan apapun. Aku ingin menggenggam tangannya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja dan mari kembali menjalani hidup bersama.
Ibu kembali tertidur dan tanpa bersuara aku masih memandanginya.
Yian mengetuk pintu dan masuk ke dalam kamar, ia berdiri di sampingku dan melemparkan senyumannya padaku, seolah memberitahu bahwa semuanya baik-baik saja, akupun kembali membalas senyumnya.
Setidaknya sisa uang di tabungan masih mampu untuk melunasi biaya rumah sakit, namun aku masih belum tahu bagaimana keadaan ibuku kedepannya. Mendengar penjelasan dokter mengenai depresi yang ibu alami mengharuskan kami untuk melakukan perawatan lebih lanjut, tapi uanglah yang jadi masalahnya.
Belum lagi aku harus segera melunasi biaya sekolah yang sudah menunggak selama berbulan-bulan, aku harus bagaimana lagi untuk bisa menyelesaikan semua permasalahan ini, kekhawatiran ini semakin menjadi setiap harinya.
Kini aku dan Yian duduk di lorong rumah sakit, hari semakin sore dan ia harus segera kembali ke rumahnya, sekeras apapun aku menyembunyikkan kekhawatiranku darinya, ia selalu berhasil menyadari hal tersebut.
“ Kalo lu butuh sesuatu, kasih tau gua, lu ga sendirian”. Ucapnya yang seakan mengerti keadaanku.
“ Gue gatau kalo kita bakal sedeket ini, temen-temen gue gatau apapun soal ini, gue harap lo bisa jaga hal ini dari siapapun ya”. Pintaku.
“ Iya”. Jawabnya,
“ Udah jam segini, lo pulang aja”. Suruhku mengingat hari semakin sore.
“ Yaudah, tapi inget ya, kalo perlu apa-apa kasih tau gua”. Ucapnya sekali lagi.