Tengah malam yang awalnya sunyi seketika menjadi riuh karena teriakan ibu dari kamarnya. Aku langsung berlari menuju kamar ibuku untuk memeriksa apa yang sebenernya terjadi. Ibu duduk di sudut kamarnya sembari menekuk kedua lututnya, tangisnya begitu histeris sehingga membuat jantungku berpacu dengan cepat.
“ Karel! Dimana Karel? Mikaela! Panggil adik kamu!”. Teriaknya.
Aku menggeleng pelan, mencoba menenangkannya.
“ Dimana Mika?! Dimana adik kamu? Mama mau ketemu Karel!, cepet kamu cari dia! Jangan sampai dia ketemu laki-laki itu! Cari adik kamu, jangan sampai laki-laki itu bunuh adik kamu!”. Ucapnya melantur.
Aku tak kuasa menahan tangisku, seluruh tubuhku gemetar mendengar ucapan wanita di hadapanku. Dia masih belum sadar bahwa putranya telah tiada, kini ia berteriak dan menangis dengan histeris, lalu apa yang harus kulakukan.
Ibu terus mengguncang tubuhku dan memintaku untuk membawa Karel kembali.
Aku hanya bisa menangis dan membiarkannya terus berteriak padaku.
“ Pembunuh! Dimana pembunuh itu?! Dimana Mika! Dimana Karel?!Jawab mama!”. Teriaknya lagi sembari mendorong tubuhku keras ke lantai.
“ Karel udah meninggal!!! Karel udah gada!!”. Teriakku diikuti tangisan.
Ibuku pun terdiam dan membenturkan kepalanya ke dinding beberapa kali, aku mendekatinya dan menaruh telapak tanganku di belakang kepalanya.
Ia terus berusaha melukai dirinya, kami berada di posisi ini sepanjang malam. Sampai akhirnya ia mulai lelah, saat mulai tenang aku kembali membawanya ke tempat tidur dan membiarkannya berisirahat.
Aku duduk di samping tempat tidurnya, kini ia sudah terlelap namun air matanya terus mengalir. Akupun tak bisa menghentikan air mataku, kenapa semuanya begitu sulit, kenapa kemalangan ini harus terjadi.
Jika saja aku bisa lebih sabar, apa semuanya akan menjadi lebih baik?. Hal tersebut terus menjadi pertanyaan bagiku, aku memang selalu diam di depan banyak orang, bertingkah seolah semuanya baik-baik saja, tapi di belakang akupun terus mengeluh dan menggerutu. Aku tak pernah merasa bahwa aku adalah orang yang baik, aku hanya berpura-pura di depan oranglain dan akupun lelah terus membohongi diriku sendiri.
Aku ingin tahu, apakah aku seorang Mikaela Picessa benar-benar bisa menjadi orang yang lebih baik.
Aku terbangun dengan nafas yang terengah, mata dan pipiku sudah basah seketika saat aku bangun dari tidurku. Mimpi semalam begitu menakutkan dan menyedihkan, bahkan rasanya masih sesak walau aku telah bangun dari mimpi buruk semalam.
Aku masih mengingat kejadian semalam, keadaan ibu kembali memburuk, ia pasti sangat sedih saat ini. Aku segera membersihkan diri dan turun ke dapur untuk membuat sarapan, seketika aku di kejutkan dengan seseorang yang tengah sibuk melakukan sesuatu di dapur.
“ Tante Selena?!”. Gumamku melihat seorang wanita yang tengah memasak di dapur.
Wanita tersebut membalik badannya dan melemparkan senyumnya padaku.