Tiba waktunya kami harus menghadiri pengadilan, rasa sedihku perlahan beralih menjadi suatu kemarahan saat melihat seorang pria yang sudah mengenakan pakaian tahanan.
Ayah tiriku dengan wajah memelasnya menatap mata ibuku, entah apa arti tatapan itu, aku hanya membenci dirinya, sangat membenci dirinya. Aku dan ibu duduk menyaksikan berjalanannya persidangan, selama hal ini berlangsung aku merasakan sesak yang begitu luar biasa, dadaku sakit dan kepalaku sangat berat. Tapi saat ku menoleh ke samping, disana ada ibuku yang mungkin jauh lebih terluka daripada diriku, ia duduk mematung dengan wajah pucatnya, wajah yang penuh dengan kebencian.
Ibu pasti sangat terpukul karena mengetahui orang yang telah membunuh anak nya adalah mantan suaminya sendiri. Pria tersebut terpaksa menghabisi nyawa adikku karena takut kalau-kalau kejahatannya akan ketahuan, sampai pada akhirnya ia memukuli Karel dan pada akhirnya menusuk tubuh Karel menggunakan senjata tajam dan menyembunyikan tubuh Karel di Gudang kebunnya.
Aku tak sanggup mendengar pengakuannya tersebut, hal tersebut sangat mengerikan, bagaimana bisa hal ini terjadi pada adikku.
Akhirnya jaksa memutuskan untuk menghukum pria tersebut dengan hukuman seumur hidup, ia sudah begitu sering melakukan penipuan, kekerasan, dan kejahatan lainnya selama bertahun-tahun. Pria tersebut memang sudah mendapatkan ganjaran dari perbuatan buruknya, namun kenyataan tersebut tak membuat Karel bisa kembali lagi bersama kami, sesaat aku mengutuk pria jahat tersebut ku harap dia mati dengan mengerikan.
Dua hari setelah pengadilan tersebut pun, istri baru dari pria tersebut datang mengunjungi rumah kami dan memohon maaf, ia terus mendesak agar suaminya di bebaskan.
“ Saya mohon, setidaknya buat masa hukuman suami saja menjadi lebih ringan, kami memiliki putra yang masih kecil, apa kalian tega lihat anak saya tumbuh tanpa seorang ayah?”. Ucapnya.
Ia terus berlutut di hadapan ibuku, namun ibu dengan tatapan kosongnnya langsung meninggalkan perempuan tersebut begitu saja.
“ Tante”. Ucapku dengan nada rendah.
“ Saya mohon, tolong suami saya”. Ucapnya lagi memohon dengan airmata yang sudah membasahi pipinya.
“ Karena suami tante, seseorang kehilangan nyawanya, ibu saya kehilangan anaknya, dan saya kehilangan saudara kembar saya, apa masih mungkin kami bisa membebaskan laki-laki itu?? Apa tante pikir cuma tante yang menderita? Bagaimana dengan saya dan ibu saya?”. Ucapku tegas dengan suara yang bergetar.
“ Saya mohon”. Ucapnya seolah tak menghiraukan kata-kataku.