Hari kembali berganti, seperti biasa aku bangun lebih pagi untuk membantu ibu mempersiapkan sarapan untuk kami berdua. Sekarang, setiap pagi aku merasa begitu bahagia saat menatap wanita yang kusayangi sibuk mempersiapkan makanan di dapur, aku bangun lebih pagi agar bisa menatapnya seperti ini, tapi disaat yang bersamaan, terasa juga kekosongan yang memenuhi ruangan. Angan – angan seperti, seandainya ia masih ada disini, mungkin semuanya akan lebih membahagiakan. Terkadang, tanpa sadar aku dapat melihatnya duduk di kursi meja makan sembari menghabiskan sarapan dan tersenyum kearahku, tapi seketika sesaat airmata jatuh, iapun ikut menghilang dari pandanganku. Sehingga aku tahu, semuanya tak nyata.
“ Mika, ayo sarapan dulu”. Panggil ibu.
Aku segera menyeka airmataku dan mengambil napas, lalu berjalan menghampiri ibuku dengan senyuman. Bukan hanya aku yang kehilangan, ibu pun pasti merasakan kesedihan yang sama, bahkan mungkin lebih menyakitkan. Kini kami hanya berdua dan hanya ia yang kumiliki, sudah menjadi kewajibanku untuk menjaga dan menyayangi ibu.
“ Hari ini kamu pulangnya jangan kesorean ya, kan besok pagi kita harus ke tempat adik kamu”. Ucap ibu ditengah sarapan.
“ Iya mah, aku bakal pulang lebih cepet”. Balasku.
Selesai dengan sarapan, akupun segera berpamitan pada ibu ku tersebut dan berjalan keluar rumah. Seperti biasa, selalu ada Yian yang sudah berdiri menungguku di depan rumah, aku selalu pergi ke sekolah saat langit masih gelap, tapi ia selalu datang bahkan sebelum aku keluar dari rumah. Bagaimana bisa ia serajin dan seniat itu, sebenarnya aku merasa nyaman berjalan dengannya tapi akupun merasa tak enak hati karena terus membuatnya menunggu.
“ Kalau Yian pacaran sama Irene, apa kita masih bisa jalan ke sekolah sama-sama kayak gini?”. Batinku, seketika pikiran seperti itu terlintas di benakku.
“ Seminggu lagi ujian kenaikan kelas, lu baik-baik aja?”. Tanyanya tiba-tiba.
“ Baik kok, gue bukan tipe yang stress soal ginian kali”. Ucapku.
“ Bagus, jangan maksain diri lu ya”. Ucapnya.
“ Sok perhatian lo!”. Cibirku diikuti senyuman.
“ Nanti kita pulang bareng kan?”. Tanyanya lagi.
“ Iya, gue harus cepet-cepet pulang”. Ucapku.
“ Tumben?”.
“ Iya, besok gue sama mama mau ke makam Karel”. Ucapku dengan ekspresi yang sedikit sedih.
Yian hanya memperhatikanku tanpa membalas ucapanku barusan, dengan cepat kamipun tiba di sekolah dan harus berpisah menuju kelas masing-masing.
Disaat jam istirahat, sepert biasa Yian selalu di kelilingi oleh teman-temannya, seperti tak ada celah bagiku untuk bisa mendekatinya, telalu banyak orang di sekitarnya. Sampai-sampai aku bertanya pada diriku sendiri, apa hanya aku yang selalu memperhatikannya seperti ini, apa dia pernah memikirkan ku bahkan walau hanya sekali.
“ Dia sendirian di Indonesia, tapi pasti dia baik-baik aja, keuntungan jadi orang ganteng emang gitu ya, ga akan ngerasa kesepian, mau kemana juga pasti selalu ada yang ngintilin”. Ucap Sophia yang tiba-tiba.
“ Seenggaknya dia ga akan sedih, aku seneng selama dia baik-baik aja”. Ucap Irene dengan senyuman tulus di wajahnya.
Nyut!!! Dadaku terasa nyeri melihatnya tersenyum tulus sembari mengatakan hal tersebut.
“ Apa ini, kenapa aku ngerasa aneh”. Batinku.
“ Mika? Lo gapapa?”. Tanya Sophia.
“ G-gapapa, aku ke toilet sebentar ya”. Ucapku.
Aku mengambil langkah besar menuju ke toilet, aku berdiri di depan cermin sembari menatap pantulan diriku.
“ Kenapa? Kenapa aku sedih liat Irene senyum kayak tadi?”. Batinku, aku melamun mengingat hal barusan. Tiba-tiba saja suasana hatiku menjadi buruk.