22 Februari 2018
Saat itu langit dipenuhi awan hitam, cuaca cukup dingin tapi hujan tak kunjung turun, kupikir itu hanya sekedar mendung. Aku bergegas menuju sebuah tempat untuk menemui adik laki-lakiku, bahkan saat itu aku masih mengenakan seragam sekolahku. aku membawa seikat bunga mawar untuk kuberikan padanya, sepanjang perjalanan aku terus menghela nafas berat, dadaku dipenuhi rasa sesak.
Sesampainya aku ditempat itu air mataku mulai jatuh dan membasahi pipiku. Ia adalah Karel Abdullah saudara kembarku. Selama ini aku sangat bahagia karena memiliki saudara kembar seperti dirinya, walau aku lahir lebih dulu darinya tapi Karel selalu bertingkah seolah dialah yang lebih tua dariku, ia anak laki-laki yang baik dan manis, dia selalu melindungiku walau tak jarang ia juga sering menggangguku, tapi ia tetaplah saudara laki-laki yang baik untukku, dia selalu bisa diandalkan. Sehingga aku selalu ingin bersamanya, tapi pada kenyataannya kini ia harus lebih dulu meninggalkan dunia ini, di usia kami yang baru saja 16 tahun, kami sudah harus berpisah.
Kini aku berdiri di hadapan makamnya, sudah 1 bulan berlalu sejak kepergiannya dan ini masih sangat berat untukku, setiap kali mengingatnya hatiku sangat sakit, aku sungguh merindukkan Karel. Sejenak aku memerintahkan hatiku untuk sedikit tenang dan mulai mengirimkan doa untuk adikku, saat berada di sana bahkan tak terasa 2 jam telah berlalu, kini langit semakin gelap dan rintikkan hujan mulai turun membasahi tubuhku.
Akupun mulai berjalan menjauhi tempat peristirahatan terakhirnya, aku berteduh di depan toko bunga yang jaraknya tak begitu jauh dari makam Karel. Aku berdiri sambil melamun, namun kemudian aku sadar ada seorang laki-laki dengan seragam sekolah yang sama di sebelahku tapi kami tak saling menyapa.
Sampai akhirnya ia menyenggol lenganku pelan dan membuatku menatap ke arahnya.
“ Hm?”. Gumamku bingung.
“ Ngapain lo disini?”. Tanyanya sok akrab.
Untuk sesaat aku tak merespon pertanyaannya, aku memalingkan muka dan kembali melamun. Saat itu hujan semakin deras dan langit semakin gelap, waktu menunjukkan pukul 18.00.
“ Ya ampun udah jam segini, ibu pasti nunggu aku”. Batinku mengingat ibuku di rumah tengah sendirian dan tak ada yang memberinya makan.
Tak memperdulikan derasnya hujan, akupun berlari menuju rumah.
“ Mika!!”. Teriak laki-laki yang tadi berdiri disampingku.
Aku tak memperdulikannya, lagipula aku tak ada urusan dengannya.
Alhasil aku tiba di rumah dengan keadaan yang sudah basah kuyup, aku langsung membersihkan diriku dan pergi ke dapur untuk membuat makanan. Kubuka lemari es dan rak, tapi aku tak bisa menemukan apapun yang bisa menjadi bahan makanan. Aku kembali ke kamarku dan memeriksa sisa uang sekolah ku. Syukurnya masih tersisa 100 ribu dan sehingga bisa membeli makanan dengan uang ini, sebelum pergi ke minimarket aku memeriksa keadaan ibu di kamar tidurnya, saat itu ia tengah tertidur dan aku berusaha sehening mungkin agar tak membangunkannya.
10 menit aku berada di minimarket namun begitu keluar aku harus terjebak hujan lagi, aku tak membawa payung dan tak mungkin jika harus berlari kerumah karena nanti belanjaanku akan ikut basah. Akupun akhirnya berdiri di depan minimarket sambil menunggu hujan reda.
“ Hey!!!” Sapa seorang laki-laki dari belakang.
“ Lu lagi”. Sambungnya.
Aku memperhatikannya dan mencoba mengingat siapa dirinya, ia terlihat tak asing bagiku.
“ Rumah lu di daerah sini juga?”. Tanyanya yang mulai mendekat denganku.
“ Siapa?”. Tanyaku bingung dalam hati.
Aku hanya memberinya tatapan bingung, merasa kecewa iapun mulai memajukan bibirnya, cemberut melihat reaksiku.
“ Lu kearah mana?”. Tanyanya lagi.