Dear Elvar, Kamu Nyata?

Saskia Helsy Luvinda
Chapter #1

Hening yang Menguatkan

Nadra Elveria Nyxaline. Orang-orang tak pernah tahu banyak tentangnya, dan itu sesuai dengan yang ia inginkan.

Dia bukan tipe yang menonjol di kelas. Bukan juga yang populer atau punya lingkaran pertemanan luas. Tapi bukan berarti ia tak terlihat. Justru kadang, kehadirannya seperti bayangan samar—ada, tapi nyaris tak pernah disentuh. Seperti kabut pagi di antara jendela perpustakaan.

Nadra hidup dalam dunia yang ia bentuk sendiri. Dunia yang tidak kerasukan suara-suara dari luar. Dunia yang sunyi, tapi aman. Dunia yang ia bangun sejak rasa percaya dalam dirinya hancur dan menyisakan ruang kosong yang tak mudah diisi kembali.

Setiap pagi, Nadra punya rutinitas yang tak banyak berubah: bangun sedikit lebih awal dari alarm, duduk di ujung ranjang selama beberapa menit hanya untuk mengatur napas, lalu menyiapkan diri seolah hari itu bisa berjalan lebih baik dari kemarin. Padahal, ia tahu... tidak akan.

Ia berjalan kaki ke kampus. Headphone besar menutupi telinganya, tapi tak ada musik yang diputar. Ia hanya ingin menenangkan dunia. Seolah dengan menutup telinga, ia bisa menghentikan segala kebisingan—baik yang nyata maupun yang cuma berputar di dalam kepalanya.

Senyumnya tipis. Bahkan sering tak ada. Tapi saat dosen melontarkan lelucon basi, Nadra tetap tersenyum. Bukan karena ia benar-benar lucu, tapi karena sudah menjadi refleks sosial yang terpaksa.

Tempat duduk favoritnya adalah pojok kanan belakang ruang kuliah. Jauh dari tatapan, cukup dekat dengan jendela. Dari sana, ia bisa melihat langit, atau sekadar menyaksikan dedaunan bergerak perlahan—sesuatu yang entah kenapa terasa menenangkan.

Tak banyak orang yang tahu namanya. Dan yang tahu pun, hanya sebatas itu—nama. Mereka tidak tahu apa yang pernah Nadra alami, atau apa yang sedang dia perjuangkan. Dan Nadra tidak pernah merasa perlu menjelaskan.

Setelah kuliah usai, ia tak langsung pulang. Kadang ke taman belakang kampus, kadang ke perpustakaan yang sudah sepi. Dia suka duduk lama di bangku kayu tua, membaca buku yang tak ia selesaikan, atau hanya menatap halaman tanpa benar-benar membacanya. Pikiran Nadra terlalu sering mengembara.

Lihat selengkapnya