Ada masa di hidup Nadra di mana suara tangis bukan sesuatu yang asing. Tangis itu bukan lagi pelampiasan emosi—melainkan rutinitas. Seperti alarm yang bunyinya tak pernah tepat waktu, tapi selalu ada.
Ayah dan ibunya tak pernah benar-benar jadi rumah. Mereka adalah dua kutub magnet yang saling menolak, tapi dipaksa tinggal dalam bingkai pernikahan yang retak sejak lama. Hampir setiap malam, Nadra kecil menyaksikan pertengkaran yang hanya berakhir karena suara piring pecah atau pintu dibanting.
Kadang ayahnya berteriak. Kadang ibunya membalas. Tapi yang paling sering... tangan ayahnya bicara lebih keras dari mulut siapa pun.
Nadra pernah berpikir kalau dia hanya perlu tumbuh dewasa, dan semuanya akan membaik. Tapi ternyata, tumbuh dewasa bukan solusi. Justru saat dia beranjak remaja, luka itu ikut tumbuh bersamanya—berubah dari lebam di kulit menjadi retak di dalam jiwa.
Dia belajar menyembunyikan tangis di balik kamar mandi sekolah. Belajar bilang “gapapa kok” meski matanya sembab. Dan belajar menghindari pertanyaan dari guru yang terlalu peduli.
Waktu masuk kuliah, Nadra merasa bebas. Bebas dari rumah yang tak pernah nyaman. Bebas dari bayangan tangan ayahnya. Dan akhirnya bisa hidup sendiri, di kota yang baru, dengan harapan yang juga baru.
Semester pertama, dia menemukan dua orang yang mengubah dunianya: Rena dan Rian.
Rena adalah teman sekelas yang pertama kali menyapanya saat Nadra duduk sendirian di kantin. Cewek ceria, suka cerita receh, dan hobi ngerjain tugas dadakan. Rena cepat sekali akrab, dan entah gimana—bisa bikin Nadra ketawa walau sedang sedih. Mereka jadi sahabat.
Rian datang setelahnya. Mahasiswa jurusan sebelah yang suka nongkrong di taman kampus. Caranya ngomong tenang, matanya selalu penuh perhatian, dan entah kenapa... Rian selalu tahu kapan Nadra butuh ditemani. Nadra jatuh, dalam, tanpa sadar, tanpa rem.
Itu pertama kalinya Nadra membiarkan seseorang masuk. Bukan cuma masuk ke hati, tapi juga ke luka-lukanya.
Rian tahu semuanya. Tentang masa kecil Nadra, trauma, ketakutannya. Nadra nggak pernah cerita sebanyak itu ke siapa pun sebelumnya. Tapi dengan Rian, rasanya aman.
Apalagi ada Rena. Mereka bertiga seperti trio tak terpisahkan. Nadra percaya... akhirnya dia punya tempat. Punya rumah.
Sampai satu malam yang mengubah segalanya.
Nadra menemukan ponsel Rian di meja kos. Rian sedang mandi waktu itu. Dan notifikasi pesan masuk... dari Rena.
Panjang. Intim. Menyakitkan.
Tangannya gemetar. Nadra membuka isi chat itu—dan hatinya runtuh satu per satu. Rena dan Rian. Dua orang yang paling dia percaya. Dua orang yang jadi ‘rumah’ untuknya... ternyata punya rumah sendiri di belakang punggungnya.
Hubungan itu bukan sekadar pesan. Mereka sudah sejauh itu. Sudah melampaui semua batas yang pernah Nadra jaga rapat-rapat.
Dia nggak teriak. Nggak marah. Nggak juga nanya, “Kenapa?”
Dia hanya... pergi. Dan nggak pernah kembali.
Nadra gak pernah cerita ke siapa pun soal kejadian itu.
Dia menghilang dari tongkrongan. Ganti nomor. Pindah kos. Semua chat dari Gian dan Rena dia blokir.
Sakitnya bukan karena kehilangan pacar. Atau sahabat.