Kita putus ...
🐟 🐟
Gadis itu menyepol asal rambutnya. Keringat bercucuran di pelipis dan leher jenjangnya. Bandung, setelah setahun ia tinggalkan ternyata masih sama saja panasnya.
Disca, gadis itu mengipas-ngipaskan tangannya di bawah dagu, ia gerah dan benar-benar lelah setelah melalui berjam-jam perjalanan dari kota Jogja ke kota Bandung. Dan ... Brukk, merebahkan diri di atas kasur miliknya sendiri merupakan ke-pewe-an yang hakiki dari dulu hingga sekarang.
Disca cemberut saat kipasan tangannya tidak terasa sejuk sama sekali, sedangkan kamarnya terasa pengap sekaligus penuh debu. Ia bangkit dari kasur dan memilih membuka jendela besar kamarnya. Cahaya dan panasnya matahari melangkahi tralis besi dan berlanjut menguar menghangatkan kamar tidur Disca yang lembab sebab sudah lama tak berpenghuni. Disca menghirup napas dalam-dalam, menikmati kesejukan dari pepohonan dan beberapa tanaman bunga dari luar kamarnya, “Aroma kota Bandung,” ucapnya sambil terkikik sendiri.
“Discaaa, obatmu tadi udah Mama kasih, 'kan? Di Mama gak ada, loh.” Teriak Sofia dari luar kamar.
Disca mengingat-ingat kembali. Ia merogoh saku celana jeans-nya, baru kemudian ingat bahwa bukan di saku jeans obat itu ia simpan. “ Udah kok, Mahhhh. Ada di tas!” jawabnya.
“Yaudah, taruh yang bener! Simpen yang rapi! Taruh tuh di laci lemari biar kalo cari gampang!”
“Iyaa, nanti, Mah.”
“Jangan nanti-nanti! Nanti kelupaan, cepet sekarang!” tegas Sofia membuat Disca menciut.
“Eh, iya, Mahh.”
Tidak ingin mamanya berulang-ulang menyuruhnya dengan perintah yang sama, dengan sigap Disca meraih tas hitam besar yang jaraknya tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mengambil satu botol berukuran sedang warna putih yang full berisi pil obat itu dari dalam salah satu pouch bagian depan tasnya. Setelah itu, Disca membuka pintu lemari pakaiannya dengan satu tarikan keras hingga membuat salah satu barang dari dalam lemarinya terjatuh dan sempat mendarat lancang di jidatnya.