“Ada tiga kunci sukses :
1. Usaha
2. Doa
3. Orang dalam.”
****
Suasana Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang begitu ramai. Banyak pengunjung yang didominasi oleh anak-anak sedang menunggu di bagian Administrasi. Beberapa perawat juga terlihat berlalu-lalang sambil mendorong brankar pasien. Selain itu, bau ethanol juga tercium oleh indra pembau siapapun yang sedang berada disana.
Sesuai janji yang telah dibuat, Fajri, Sarah dan yang lainnya menunggu kakak sepupu Fajri yang sedang bertugas sebagai residen di Gedung Instalasi Rajawali. Lantai satu yang berfungsi sebagai layanan Farmasi juga cukup ramai, sehingga mereka terpaksa menunggu sambil berdiri.
Dari kejauhan, terlihat seorang perempuan muda yang berusia sekitaran dua puluh enam tahun berjalan menghampiri mereka. Perempuan muda itu menggunakan pakaian operasi yang berwarna hijau lengkap dengan topi scrubnya.
“Ada apa? Mbak baru selesai operasi,” tanya perempuan muda itu kepada Fajri.
“Minta tolong cariin data pasien anemia dong, Mbak,” pinta Fajri.
Perempuan muda yang bernama Amel itu langsung menggelengkan kepalanya. “Heh, mana bisa Mbak cariin data pasien. Kamu tahu sendiri kan, Mbak itu tugasnya di ruang operasi, bukan dibagian rekam medis.”
Mbak Amel menatap Sarah dan ketiga temannya dengan tatapan heran. Bagaimana Mbak Amel tidak merasa heran, baru sekali ini Fajri membawa temannya ke rumah sakit dimana dirinya bertugas sebagai dokter residen.
“Teman kamu?” tanya Mbak Amel.
“Iya, Mbak. Tolong lah, Mbak.” Fajri masih berusaha. “Ini buat tugas mereka. Kasian loh tadi dijutekin sama yang kerja dipuskesmas.”
“Emangnya data pasien Anemia buat apa dek? Mbak gak bisa sembarang kasih gitu aja, soalnya data pasien kan dirahasiakan,” tanya Mbak Amel sambil menatap Sarah.
“Gini Mbak, Sebenanrya saya sama teman-teman ada tugas UAS buat laporan mengenai anemia. Dosen kami suruh kami wawancara pasien anemia gitu,” jelas Sarah dengan sopan. Sarah memang harus sopan kepada perempuan muda yang ada dihadapannya, karena hanya dirinya lah yang bisa membantu Sarah saat ini.
Mbak Amel berusaha menahan tawa saat melihat kesopanan Sarah kepada dirinya. Mbak Amel bahkan mengibaskan tangannya keatas sambil berkata, “Santai aja. Gak usah pakai saya gitu dek, jadi terlalu formal banget kek ketemu konsulen.”
“Hehehe,” kekeh Sarah sambil menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.
“Jadi ini tugasnya wawancara pasien gitu ya?” tanya Mbak Amel lagi.
“Iya, Mbak. Wawancara pasien Anemia,” jawab Jessie.
“Anemia ya?” Mbak Amel mengusap dagunya dengan pelan seperti sedang berpikir keras. “Berarti ibu hamil bisa dong ya? Anemia kan?”
“Bisa Mbak!” seru Sarah. Sarah bahkan tak bisa menyembunyikan rasa senangnya saat Mbak Amel bersedia membantu dirinya dan teman-temannya.
“Oke, Mbak bantuin. Kebetulan dua hari yang lalu, Mbak lagi ada C-Section. Tapi ini tergantung pasiennya loh ya, mau diwawancarai atau enggak,” ucap Mbak Amel.
Sarah mengangguk mantap. “Gak apa-apa Mbak, yang penting usaha dulu.”
“Yaudah, ayo ke lantai tiga. Pasiennya dirawat disana,” ajak Mbak Amel lalu berjalan ke arah lift yang terletak tak jauh dari mereka.