Dear Heart, Why Him?

Bentang Pustaka
Chapter #3

Part 2: Musuh Baik Hati

Kamu boleh menganggapku musuhmu. Tapi, aku tak pernah ingin melihatmu terluka.

“Serius, Bel, lo nggak makan, nih?” tanya Nanda yang baru datang sambil membawa semangkuk mi ayam. Bela menggeleng, ia tidak suka makan sesuatu yang berkuah di pagi hari. Lagi pula, tadi ia juga sudah sarapan di rumah.

Nanda mengangguk sambil meletakkan mangkuk mi ayamnya di atas meja, kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan Bela. “Surganya siswa itu pas perut laper, eh nggak ada guru,” ucap Nanda. Kemudian, ia mengaduk mi ayamnya hingga makanan itu mengeluarkan kepulan asap tipis.

“Setuju! Apalagi pas pelajaran Fisika pula yang nggak ada guru. Beuh! Adem banget rasanya.”

Nanda tertawa. “Ngomong-ngomong, Pak Guru ke mana, ya? Nggak biasanya dia nggak ngajar. Padahal, biasanya kan, dia guru paling rajin.”

Bela mengedikkan bahu. “Bodo amatlah dia mau ke mana, yang penting kita nggak belajar pagi ini.”

“Iya juga, sih. Hehehe ….”

“Nda, gue mau nanya, deh,” bisik Bela.

“Nanya apaan?” Nanda menatap Bela heran, untuk apa Bela bisik-bisik jika hanya sekadar bertanya kepadanya.

Bela menengok ke kiri dan kanan, waspada jika nanti ada yang mendengarnya. “Lo kenal Dalvin?” tanya Bela hati-hati.

Nanda berhenti memakan mi ayamnya. Ia mengalihkan pandangan dari mangkuk ke wajah Bela yang penasaran. “Maksud lo, Dalvin anak kelas XI IPA 6?”

“Nggak tahu. Gue cuma tahu namanya. Orangnya tinggi, putih, terus tampangnya sangar. Eh, sangar nggak, ya? Nggak tahulah. Intinya, kalo dilihatin tuh, bikin kesel.”

“Kayaknya sih, iya, kalo yang lo maksud tuh, Dalvin anak XI IPA 6, si Kapten Futsal itu. Setahu gue, nama Dalvin di sekolah ini, ya cuma dia. Tampangnya sih, emang sangar, tapi hatinya menawan,” jelas Nanda sambil tersenyum malu-malu. Bela mendelik. Sambil terkekeh, Nanda kembali menyantap mi ayamnya yang sudah mulai dingin. “Emang kenapa, Bel?” tanyanya penasaran. Tidak biasanya Bela menanyakan soal cowok kepadanya.

Bela menggeleng. “Nggak, gue cuma nanya aja,” jawab Bela berbohong.

Nanda memandang curiga, memicingkan mata sambil tersenyum usil. “Lo naksir, yaaa, sama dia?”

“Ih, amit-amittt! Nggak mungkin gue naksir cowok kayak gitu!” ucap Bela sewot.

“Kok, lo sewot, sih? Tuh kaaannn, suka. Naksir, ya? Nggak apa-apa, kali, dia juga lagi jomlo sekarang. Lumayan, tahu! Udah ganteng, anak futsal, pinter, berkarisma, followers Instagram-nya juga banyak. Intinya kalo dia sama lo, nggak ada yang bakal kebanting, deh. Kalian selevel gitu,” cerocos Nanda.

“Cerewet lo, ah! Cepetan habisin mi ayam lo. Entar keburu jam Fisika selesai.” Bela melipat tangannya di depan dada dengan wajah kesal.

Tap ... tap ... tap ….

Terdengar suara derap langkah yang semakin lama semakin keras. Awalnya sih, Bela tak peduli, tapi karena namanya dipanggil, gadis itu menoleh ke belakang. Dia melihat Ira yang sedang berlari ke arahnya.

Ira berdiri tepat di samping meja tempat Bela duduk. Ia meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Rasanya dia mau pingsan karena berlari dari lantai dua hingga ke kantin sekolah. “Gila! Kelas lagi kena bencana, kalian malah enak-enakan makan di sini.”

Bela dan Nanda menatap Ira bingung. Baru datang, Ira sudah berkata seperti itu.

“Kalian dicariin Pak Edi,” tutur Ira dengan wajah pucat pasi. Selain karena berlari, wajah pucatnya disebabkan oleh nama guru yang ia sebut tadi.

Bela yang mendengarnya, lantas kaget. “PAK EDI?!” pekiknya bersamaan dengan Nanda. Bahkan, Nanda sampai menggebrak meja. Sedikit lebay.

Lihat selengkapnya