Aplikasi Beetalk memang berbeda. Ada ruang untuk ngobrol, ruang untuk unggah foto, ruang untuk sekadar curhat, dan ruang untuk diam-diam berharap seseorang memperhatikan apa yang kita tulis. Di antara sekian banyak aplikasi dating yang pernah aku coba, Wechat, KakaoTalk, Tinder, dan entah apa lagi, Beetalk selalu terasa paling… hidup. Aneh memang. Seakan-akan aplikasi ini punya denyut nadi sendiri yang membuat penggunanya ingin kembali lagi, sekadar untuk melihat siapa yang datang hari ini.
Sudah enam bulan aku memakai aplikasi-aplikasi itu. Enam bulan yang penuh swipe, chat nyangkut, obrolan basi, dan perkenalan singkat yang menguap begitu saja. Hidupku terlalu monoton: bangun, mandi, kerja, pulang, makan, rebahan, tidur. Begitu terus. Kadang aku berpikir.
Bagaimana bisa dapat pasangan kalau lingkup hidupku cuma seputar kantor dan kosan?
Pagi itu aku iseng upload fotoku: secangkir kopi, laptop terbuka, dan wajahku yang agak mengantuk karena begadang menyelesaikan laporan. Aku tak berharap apa pun. Mungkin hanya ingin didengar oleh dunia walau sebentar.
Sampai notifikasi itu muncul.
"Bisa ketemu gak?"
Pesan itu singkat. Padat. Tanpa basa-basi. Akun laki-laki itu sudah dua bulan berteman denganku. Jarang chat, tapi tiap kali kami ngobrol, selalu cepat, nyambung, dan tak ada kesan gombal murahan seperti kebanyakan pria di aplikasi dating.
Profilnya memakai seragam. Wajahnya tegas. Senyumnya tipis tapi menenangkan. Ada aura tanggung jawab, entah kenapa itu terasa nyata.
Aku menjawab.
"Kalau bisa hari ini, di mana?"
"Rumah kamu di mana?"
"Di Citra."
"Dekat itu. Kita ketemu di Mall Taman Palem bisa?"
Jantungku langsung berdebar.
"Boleh. Jam 10 pagi?"
"Boleh. Aku meluncur."
Sederhana. Tegas. Tidak berputar-putar. Aku menatap layar beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum sendiri.
PERSIAPAN YANG TIDAK SIAP.
Aku sebenarnya punya janji ke rumah kakak di Bekasi. Tapi entah kenapa, perasaan ingin bertemu orang ini jauh lebih kuat. Ada rasa penasaran yang menempel, rasa ingin tahu yang tidak bisa aku abaikan.
Aku telepon kakakku.
“Kak, maaf ya, aku gak bisa datang pagi ini. Kalau sempat sore aku baru ke sana.”
Suara kakakku lembut seperti biasa.
“Iya, gak apa-apa. Hati-hati nanti di jalan.”
Aku mandi cepat. Pakai baju yang tidak berlebihan, kaos putih, outer cream tipis, jeans biru muda, dan sneakers putih. Natural. Aku tidak ingin terlihat berusaha terlalu keras, tapi juga tidak ingin terlihat tidak peduli.
Di mobil, sepanjang perjalanan menuju mall, aku merasakan hal yang jarang sekali terjadi: gugup. Tangan dingin, dada sesak, dan pikiran yang melayang-layang ke kemungkinan terburuk.
Bagaimana kalau dia tidak sesuai foto?
Bagaimana kalau dia terlalu kaku?
Bagaimana kalau aku tidak bisa ngobrol?
Atau lebih parah… bagaimana kalau dia tidak datang?
Dan yang paling menakutkan:
Bagaimana kalau perasaan yang muncul ini hanya ada di aku, bukan di dia?
PERTEMUAN ITU.
Begitu sampai di mall, aku berdiri di dekat pintu utama. Sekelilingku ramai, banyak orang keluar masuk, tapi dia tidak ada. Aku meraih ponsel, dan tepat saat itu pesan masuk.
"Aku di pintu timur. Kamu di mana?"
Jantungku langsung memukul-mukul tulang rusuk.
Perlahan aku berjalan ke arah pintu timur. Setiap langkah rasanya seperti menapaki ujung tebing.
Dan saat aku sampai di tikungan koridor, aku melihat seseorang berdiri membelakangi arahku.
Tinggi. Tegap. Rambut cepak rapi. Kaos polo biru tua. Celana jeans bersih. Sepatu sneakers gelap. Posturnya seperti seseorang yang terbiasa disiplin. Tanpa melihat wajahnya pun aku tahu itu dia.
Aku memperlambat langkah, jantung makin tak karuan. Dari belakang saja auranya sudah menenangkan sekaligus memancing rasa ingin tahu.
Dia menoleh perlahan, seakan merasakan langkahku sebelum aku mendekat.
Mataku langsung bertemu matanya.