Esoknya, kami benar-benar bertemu lagi. Dan kali ini berbeda. Lebih istimewa. Karena dia mengajakku ke tempat yang sudah lama tidak aku datangi: Ancol.
Saat aku turun dari mobil, dia sudah berdiri di depan pintu masuk. Rapi, seperti biasa. Kaos polo warna navy melekat rapi di tubuhnya, celana jins navy yang pas, dan sepasang sepatu yang membuat penampilannya terlihat bersih dan enak dipandang.
“Aku suka gaya kamu,” ceplosku tanpa sengaja.
Dia menoleh, terkejut, lalu tersenyum kecil.
“Makasih. Kamu juga… kelihatan cantik hari ini.”
Gelas jantungku langsung retak. Aku pura-pura sibuk mengalihkan pandangan, padahal ingin tersenyum selebar mungkin.
Kami berjalan menyusuri Ancol yang tidak terlalu ramai hari itu. Angin laut menyapu rambutku, aroma air asin, dan suara ombak menjadi latar belakang yang sempurna.
“Kamu sering ke sini?” tanyaku.
“Jarang. Biasanya kalau kerjaan sudah terlalu penuh,” katanya. “Ancol itu… tempat tenang buat aku. Kayak jeda. Kamu sendiri?”
“Sudah lama banget nggak ke sini.”
Dia tertawa pelan. “Berarti hari ini… nostalgia ya?”
Aku tersenyum, “Iya, mungkin begitu.”
Kami berjalan di pinggir pantai. Sesekali dia menyeruput es kopi yang dia beli dari booth kecil dekat gerbang. Aku hanya membawa air mineral, tapi dia beberapa kali menawarkan minumannya.
“Cobain sedikit deh,” katanya, menyodorkan gelas.
Aku ragu. Dia menatapku sambil mengangkat sedikit alis, tanda menunggu.
Jantungku langsung tidak karuan.
“Kalau nggak suka nggak apa-apa,” tambahnya.
Aku akhirnya mengambilnya. Saat bibirku menyentuh sedotan yang baru saja dia gunakan, entah kenapa pipiku langsung panas.
“Gimana?” tanyanya penuh rasa ingin tahu.
“Enak.”
Dan manis.
Tapi tentu saja aku tidak mengatakan bagian terakhir itu.
Kami duduk di pinggir dermaga, membiarkan angin laut merusak rambut kami. Langit pelan-pelan berubah warna biru menjadi jingga, jingga menjadi keemasan.
“Aku senang kamu mau ketemu lagi,” katanya tiba-tiba.
Ucapan itu datang begitu tiba-tiba sampai aku menoleh tanpa sadar.
Dia menatap lurus ke arah langit, tapi aku tahu kata-kata itu bukan untuk langit, kata-kata itu untukku.
“Aku juga senang,” jawabku pelan.
“Kamu tipe orang yang… sulit aku temui di aplikasi,” lanjutnya. “Kebanyakan cuma basa-basi. Kamu… beda.”
“Beda gimana?”
Dia menoleh. Mata kami bertemu. Ada sesuatu di sana, kehangatan yang tidak pura-pura.
“Kamu… tulus.”
Dadaku terasa hangat. Seperti ada sesuatu yang tumbuh perlahan tapi pasti.
Kami duduk cukup lama sampai senja hampir menghilang. Omongannya semakin banyak, tawanya semakin bebas, dan aku merasa semakin nyaman. Dia menceritakan masa kecilnya yang sederhana, perjuangannya merantau, rasa sepi yang ia rasakan beberapa bulan terakhir. Semua itu tidak ia ceritakan melalui chat, tapi hari itu dia membukakan pintunya perlahan.
“Aku sebenarnya tidak terlalu suka keramaian. Tapi kalau sama kamu… aku nggak keberatan,” katanya tiba-tiba.
Aku terdiam.
“Kenapa?” tanyanya.
“Gak apa-apa. Cuma… aku gak nyangka kamu bisa ngomong kayak gitu.”
Dia tertawa kecil. “Aku orangnya jujur kok.”
Lalu hening. Hening yang tidak kikuk, hening yang terasa nyaman.
Tiba-tiba dia berkata pelan, nyaris seperti gumaman:
“Pertemuan kemarin… dan hari ini… kayak sesuatu yang sudah lama aku tunggu.”
Hatiku seperti diremas lembut.
“Kenapa?” tanyaku.
Dia menatapku lama. Lama sekali. Dan kali ini aku tidak bisa menghindar.
“Karena aku suka caramu melihat dunia,” jawabnya. “Dan aku ingin… mengenal kamu lebih dalam.”
Angin laut seakan berhenti sesaat.
Jantungku memukul-mukul tulang rusukku.
Dan aku tahu, sejak hari itu, ada sesuatu yang berubah.
Bukan hanya karena dia tampan. Bukan hanya karena dia rapi, hangat, atau menyenangkan.
Tapi karena dia membuatku merasa dilihat. Dilihat, bukan hanya dipandang. Didengarkan, bukan hanya ditemani.
Seperti seseorang yang menemukan rumah setelah bertahun-tahun tersesat.
Pulang yang Tidak Lagi Sepi.
Dalam perjalanan pulang, kami berjalan pelan menuju mobil. Malam turun perlahan, lampu-lampu Ancol berpendar lembut, menciptakan suasana yang hampir romantis.
“Besok kamu kerja?” tanyanya.
“Iya.”
“Kalau sempat… boleh aku jemput? Kita sarapan bareng.”
Aku terkejut.