Sejak pertemuan di Taman Palem itu, ada sesuatu yang berubah dari hari-hariku. Entah apa, tapi seperti ada ruang kecil di dalam dada yang tiba-tiba terisi. Tidak penuh, tidak sesak… hanya hangat. Hangat yang membuat aku tersenyum sendiri saat memandangi langit pagi, atau bahkan saat membuka aplikasi pesan di HP ku, berharap ada namanya di sana.
Dan anehnya, selalu ada.
Setiap pagi, notifikasi pertama yang muncul adalah pesannya:
“Pagi. Udah sarapan?”
Biasanya aku menjawab singkat.
“Udah dong.”
Padahal kadang… belum.
Aku hanya malas terlihat terlalu antusias. Ah, ini kan baru kenal. Masa iya aku harus terlihat heboh?
Tapi sepanjang menatap layar HP itu, bibirku selalu tersenyum. Senyum yang bahkan tidak bisa aku cegah.
Siang itu, di kantor, aku lagi
menumpuk laporan. Tapi pikiran tidak fokus. Mataku hanya melirik HP yang tergeletak di sebelah laptop.
Tiba-tiba HP bergetar.
Nama dia muncul.
“Lagi sibuk?”
Aku menarik napas. Menenangkan diri agar jawaban tidak terlihat girang.
“Lumayan. Kenapa?”
Tidak lama muncul balasan.
“Kalo udah pulang kerja, ketemu yuk? Kita makan bakso. Yang kemarin kamu bilang enak itu.”
Degup. Degup. Degup.
Jantungku seperti dipukul sendok aluminium.
Tapi aku tetap pura-pura cuek.
“Hmmm, liat nanti ya. Kalau nggak capek.”
Padahal dalam hati:
“YA ALLAH IYA BANGET, SEKARANG JUGA BOLEH.”
Malam Itu, Bakso, Lampu Jalan, dan Getaran yang Aneh.
Jam pulang akhirnya datang juga.
Aku sengaja memilih baju kasual yang manis: jeans biru muda, kemeja putih longgar, rambut diikat setengah. Ringkas tapi rapi. Tidak terlalu berusaha, tidak terlalu asal.
Setidaknya… aku ingin terlihat pantas berjalan di sampingnya.
Dia datang menjemput dengan motornya, seperti biasa selalu rapi. Kaos polo warna navi, celana jins navi, sepatu yang bersih. Badannya tegap, sikapnya sopan.