Dear Honey

Nengshuwartii
Chapter #4

JALAN-JALAN

Entah sejak kapan semua ini menjadi kebiasaan.

Kebiasaan yang tidak pernah kami rencanakan, tapi selalu kami ulangi.

Seperti ritme yang tubuh kami hafal tanpa perlu diingatkan.

Setiap hari, selalu ada waktu untuk bertemu.

Entah lima belas menit, setengah jam, atau dua jam kalau sedang beruntung.

Yang penting bertemu.

Dan anehnya… setiap kali hendak pulang, rasanya selalu kurang.


Pagi-Pagi yang Selalu Ada Namamu.

Pagi itu, aku baru bangun ketika HP bergetar pelan. Layar menyala menampilkan namanya.

Aku belum benar-benar membuka mata, tapi bibirku otomatis tersenyum.

“Udah bangun?”

Aku menarik selimut sampai dagu.

Sejak kapan ada seseorang yang menanyakan hal sesederhana ini tiap pagi?

Belum sempat aku mengetik, pesan kedua masuk.

“Belum yah. Kamu kalau belum bangun biasanya nggak aktif 5 menit pertama.”

Aku tertawa kecil.

Sejak kapan dia memperhatikan pola bangunku juga?

Aku membalas:

“Baru bangun. Kamu kok tau?”

Jawabannya muncul cepat.

“Feeling. Atau kamu emang aku hafalin.”

Aku menutup wajah dengan bantal.

Ya Allah… pagi-pagi begini saja dia sudah membuatku malu.

“Sudah mandi? Sarapan ya. Hari ini panas lho.”

Aku balas:

“Kamu sudah sarapan?”

“Sudah. Tapi bohong. Nunggu kamu dulu. Biar barengan katanya.”

Aku mengembuskan napas panjang.

Beginilah dia.

Sederhana, tapi manis… seringnya kebangetan.


Siang Hari: Sibuk, Tapi Selalu Ada Waktu Buat Saling Mengganggu.

Siang itu di kantor, aku sedang mengetik laporan ketika HP kembali berbunyi.

“Jangan ngantuk.”

Aku tersenyum.

Dia seperti bisa membaca pikiranku, karena memang sejak tadi kelopak mataku terasa berat.

“Aku nggak ngantuk,” balasku.

“Bohong. Kalau ngantuk bilang. Biar aku kirimin sticker semangat.”

“Sticker nggak bikin segar.”

“Nah makanya ketemu aku nanti, biar segar.”

Aku menahan tawa.

Bagaimana bisa seseorang percaya diri sampai tingkat seperti ini?

“Aku pulang agak malam,” tulisku.

“Nggak apa. Setengah jam ketemu juga cukup.”

Setengah jam.

Tapi aku tahu, kami tidak pernah benar-benar berhenti di setengah jam.

Satu pesan lagi masuk.

“Kamu kangen nggak?”

Aku terpaku.

Dengan cepat aku balas:

“Enggak.”

“Tapi senyum kan?”

Aku menutup mulutku tepat saat senyumku tidak bisa ditahan.

Sial.


Sore Itu: Waktu yang Sempit Tapi Selalu Dijadikan Berarti.

Hari itu aku pulang lebih lambat dari biasanya. Jam sudah menunjukkan pukul 19.20 ketika aku keluar kantor. Aku tidak berharap dia masih menunggu, karena jam segini biasanya dia sudah di rumah.

Tapi saat aku sudah di depan…

Dia ada di sana.

Bersandar di motornya, tangan di saku, wajah sedikit letih tapi masih tersenyum saat melihatku.

“Kamu lama banget,” katanya sambil mengusap tengkuk belakang.

Aku mendekat. “Maaf. Tadi ada revisi...”

“Sudah, nggak apa,” potongnya. “Yuk. Lapar nggak?”

Aku diam. “Kamu dari kapan nunggu?”

Dia menjawab enteng. “Dari jam enam.”

“HAH? Satu jam lebih?”

“Iya. Kan nunggu kamu.”

Aku tertegun.

Bukan karena dia menunggu sejam lebih, meski itu saja sudah luar biasa, tapi cara dia mengatakannya. Ringan. Jujur. Tidak menuntut balasan.

Lihat selengkapnya