Tidak ada lagi kata suka di antara kami, tapi rasanya terus menggebu-gebu. Tidak ada ucapan cinta, tapi hati selalu rindu. Tidak ada kalimat kangen, tapi tubuh seperti digiring takdir untuk selalu ingin bertemu. Semua berjalan begitu alami, tanpa definisi, tanpa garis, tanpa perjanjian namun justru itulah yang membuatku tak bisa menahan debar yang muncul setiap kali dia mengetik:
"Sempetin ketemu bentar yuk? Aku ada waktu dua jam."
Hanya dua jam. Tapi entah kenapa dua jam itu terasa lebih bernilai daripada libur seminggu penuh tanpa dirinya.
Dan seperti itu setiap hari. Kami bertemu kadang hanya jalan tanpa arah, kadang hanya makan cepat di pinggir jalan, kadang hanya duduk diam sambil saling bercerita hal remeh yang suka tiba-tiba jadi penting kalau dia yang mengucapkannya.
Namun di balik semua kebersamaan itu, ada satu titik kecil yang makin lama makin terasa menekan dada:
Status.
“Siapa aku baginya?”
“Siapa dia bagiku?”
Pertanyaan itu terus berputar-putar tanpa pernah kutemukan jawabannya. Menjadi dewasa membuat kita tak lagi menuntut deklarasi, tak lagi menagih pengakuan. Tapi bagaimana dengan kegelisahan hati ini? Ke mana harus aku letakkan? Bagaimana mengerti apa yang sedang kami jalani jika tak ada satu pun dari kami yang berani menamai hubungan ini?
Namun, begitu wajahnya muncul di depanku, semua ketakutan itu tiba-tiba redup. Seolah-olah dia punya cara menenangkan segala gemuruh hanya dengan satu senyum.
Bukan.
Bukan hanya di depanku.
Di depan wajah ini ada wajah yang rasanya mustahil untuk dilupakan.
Hari itu hari biasa, tapi rasanya tidak biasa. Dia tiba-tiba mengajakku makan di sebuah kedai kecil yang baru buka di kota.
“Aku pengen kamu nyobain ini. Katanya enak banget,” ujarnya sambil parkir.
“Emang kamu udah pernah nyoba?” tanyaku.
“Belum. Tapi kalau pertama kali, aku mau bareng kamu.”
Kalimat itu sederhana. Bahkan mungkin terdengar receh kalau diucapkan oleh orang lain. Tapi dari dia—rasanya seperti diperlakukan istimewa.
Kami duduk berhadapan. Obrolan mengalir enteng, seperti biasanya.
“Sibuk nggak hari ini?” tanyanya sambil menuang minumanku.
“Lumayan. Tapi entah kenapa begitu kamu ngajak keluar, rasanya langsung hilang semua stresnya.”
Dia tertawa kecil. “Bagus dong. Berarti aku punya pengaruh baik.”
"You do," batinku. Bahkan terlalu baik sampai bikin aku ketagihan ketemu kamu.
Kami makan sambil saling mencuri pandang, sambil tertawa kecil karena hal-hal sepele. Dia selalu memperhatikan apa yang kusuka, apa yang tidak kusuka, bagaimana caraku memotong makanan, bagaimana aku bereaksi terhadap rasa pedas.
“Aku suka liat kamu makan,” katanya tiba-tiba.
“Kenapa?”
“Karena ekspresi kamu jujur banget. Kalau enak, matamu langsung berbinar. Kalau nggak enak, kamu langsung manyun. Lucu aja.”
Aku memukul lengannya pelan. “Berarti kamu perhatiin aku banget ya?”
Dia hanya tersenyum. Senyum yang mengembang tapi menahan sesuatu. Senyum yang seperti ingin mengaku tapi menunda.
Entah kenapa, aku berharap dia menjawab:
"Iya, karena aku sayang sama kamu."
Tapi tentu saja dia tidak mengatakannya.
Dan lagi-lagi, aku hanya menyimpan rasa itu sendiri.
Setelah makan, dia mengajakku jalan tanpa arah. “Kita muter kota yuk. Lama nggak keliling kayak gini.”
Kami naik motor, dan angin malam menyapu rambutku. Rasanya bebas. Rasanya ringan. Rasanya seperti kita hidup dalam dunia kecil kami sendiri. Dia kadang menoleh ke kaca spion untuk memastikan aku tetap ada di belakangnya.
“Pegangan yang bener,” katanya suatu kali.
“Aku udah pegangan,” jawabku sambil memperkuat menggenggam tas di pangkuanku.
“Bukan tasnya,” balasnya pelan.
Ada jeda. Ada ruang yang dibiarkan hening. Ada debar yang sengaja ia biarkan tumbuh.
Dia lalu menepuk pelan tanganku, mengarahkannya ke pinggangnya. “Gini.”
Aku tahu itu hanya hal kecil. Tapi bagiku? Itu cukup untuk membuat dunia berhenti sebentar.
Rasa yang muncul begitu dalam, begitu cepat, begitu tak bisa kucegah.
Padahal belum sebulan.