Aku tidak pernah melihat Honey setenang ini. Biasanya dia cepat merespons, cepat bergurau, cepat mengalihkan pembicaraan kalau sesuatu mulai menyentuh perasaan yang dalam. Tapi kali ini, setelah aku bertanya tentang masa depan hubungan kami, dia hanya diam dan menatapku dengan mata yang sulit kuterjemahkan.
“Bos…” katanya pelan, seperti memanggilku dari jarak yang tidak bisa diukur.
“Aku denger,” lanjutnya, “dan aku tahu kamu butuh jawaban yang gak lagi setengah-setengah.”
Aku mengangguk, walau hatiku seperti diperas dari dalam.
Honey menarik napas panjang. “Kita duduk dulu yuk. Aku gak mau jawab ini sambil berdiri. Gak pantas buat jawaban yang udah lama kamu tunggu.”
Kami duduk di bangku kecil yang ada di taman itu. Angin sore sedikit berhembus, membawa aroma tanah basah yang entah kenapa menenangkan. Padahal hatiku sedang seperti ombak besar yang tidak mau berhenti memukul pantai.
Honey bersandar sedikit, tapi tubuhnya tetap miring menghadapku.
“Aku nih ya, Bos…” katanya pelan, “kadang kalau lewat jalan depan rumah kamu, rasanya aku ingin mampir.”
Aku menoleh cepat. Ada sesuatu di kalimat itu yang membuatku spontan yakin: itu bukan ucapan biasa. Itu rayuan. Lembut. Dalam. Mengalir. Dan… menembus.
Apakah dia sedang mencoba mencairkan suasana?
Atau itu sebenarnya petunjuk akan isi hatinya?
“Kenapa…?” tanyaku, suaraku hampir tidak terdengar.
Honey tersenyum tipis, bukan senyum nakal, tapi senyum yang penuh makna. “Karena aku ngerasa kalau aku mampir, aku bakal susah pulang.”
Hatiku mencelos. Ada getar yang langsung naik dari dada ke tenggorokan.
Aku tidak tahu harus menjawab apa.
Honey melanjutkan, masih dengan suara rendahnya yang seperti selalu tahu bagaimana membuat seseorang tenang sekaligus gemetar.
“Soalnya tiap kali lihat rumah kamu, aku kayak ngerasa seolah seluruh lelahku nunggu di depan pintu itu buat dilepas. Kayak… aku cuma perlu ketok pintu, dan semuanya bakal baik-baik aja.”
Aku memegang kedua tanganku sendiri. Tidak berani menatapnya. Kata-katanya terlalu manis. Terlalu halus. Terlalu masuk.
“Tapi aku gak mampir,” tambahnya.
“Kenapa?” tanyaku tanpa sadar.
“Karena aku takut ngerusak batas yang kamu bangun sendiri.”
Aku menoleh cepat lagi. “Batas apa?”
Honey tertawa kecil. “Batas yang kamu pikir aku gak ngerti. Kamu keliatan kuat, Bos. Keliatan mandiri, keliatan bisa apa aja sendiri. Tapi aku tau kamu jaga itu karena takut kalau seseorang masuk terlalu jauh.”
Aku terdiam.
Bagaimana dia bisa membaca sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak pernah bilang?
Honey menatapku, dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun, tatapannya tidak kabur. Tidak menahan. Tidak menghindar. Ada keberanian baru di sana. Kejujuran yang selama ini hilang.
“Hubungan ini mau dibawa kemana, ya?” ulangnya. “Aku jujur aja, Bos… aku gak mau kehilangan kamu.”
Itu kalimat yang selalu aku tunggu.
Tapi juga kalimat yang paling membuatku takut.
“Kamu gak mau kehilangan aku tapi kamu juga gak mau bawa aku ke hidup kamu secara nyata…” bisikku.
Honey menunduk sebentar. “Karena aku kira kamu belum siap.”
Aku menggeleng, hampir tertawa getir.
“Aku sudah lima tahun menunggu kesiapan kamu.”