Dear Honey

Nengshuwartii
Chapter #8

BUKAN PACAR TAPI SAYANG, BUKAN CINTA TAPI ROMANSA

Hubungan ini sudah berjalan bertahun-tahun, namun anehnya, sampai hari ini pun statusnya masih saja buram. Bukan pacar, tapi sayang. Bukan cinta, tapi romansa. Entah bagaimana caranya, aku dan Honey bisa terikat sedekat ini, tapi tetap sejauh itu ketika membicarakan masa depan. Semakin lama, kami semakin dekat secara hati, tapi justru semakin jauh dari kepastian.

Honey manis, sangat manis. Sikapnya pada ku selalu lembut belakangan ini, lebih perhatian, lebih hangat, lebih sering mengucapkan kata-kata yang membuat hati bergetar. Tapi, meski begitu, tak sekali pun Honey mengajak bicara tentang arah hubungan ini.

Seolah setiap kali kami melangkah lebih dekat, dia justru mengambil satu langkah mundur.

“Aku tuh kadang bingung, Honey,” ucapnya sore itu ketika mereka duduk di warung kecil dekat kantor. “Semakin lama kita dekat, semakin aku ngerasa… ya kita cuma teman tapi mesra gitu.”

Honey tersenyum tipis, seperti orang yang memahami tapi juga berusaha menghindar dari topik serius.

“Kenapa bilang begitu, Bos?” tanyanya pelan. “Kamu kan tahu aku sayang sama kamu.”

Aku mengangguk. “Aku tahu. Tapi kadang rasanya sayang itu cuma separuh. Selebihnya rahasia.”

Keduanya terdiam. Angin sore berhembus pelan, membawa aroma kopi yang hampir habis. Aku menatap wajah Honey, mencari sesuatu di sana, jawaban mungkin, atau keberanian, atau setidaknya sedikit kepastian.

Tapi Honey seperti biasa, memilih diam.

Anehnya, keluarga ku justru sudah sangat mengenal Honey. Sudah beberapa kali mereka duduk satu meja saat hari-hari besar, tahun baru, lebaran, silaturahmi singkat dan keluarga ku begitu nyaman berbicara dengan Honey seakan sudah menjadi bagian dari hidup ku.

Honey pun terlihat akrab, bercanda dengan santai, seolah dunia ini baik-baik saja dan hubungan mereka adalah hal yang wajar.

Namun, hal yang sama tidak pernah terjadi sebaliknya.

Setiap kali ibunya Honey datang ke rumahnya, justru Honey akan berkata:

“Bos… diam dulu, ibuku telepon. Jangan bersuara.”

Kalimat itu, yang awalnya terdengar ringan, lama-lama menjadi duri kecil yang menyakitkan.

Seperti seseorang yang disembunyikan agar tidak terdengar.

Seperti seseorang yang tidak pantas untuk diperkenalkan.

Seperti seseorang yang nyaman dia genggam, tapi tidak berani dia akui.

Aku selalu patuh. Diam. Mengalah. Mengerti.

Tapi jauh di dalam hati, luka itu tetap meninggalkan bekas.

Sampai suatu sore, ketika hubungan mereka baru saja melewati beberapa hari penuh kesalahpahaman kecil dan perasaan yang tersinggung, aku akhirnya berkata sesuatu yang selama ini ku tahan.

“Honey…” suara ku lirih, tapi jelas. “Aku ini apa buat kamu?”

Honey terkejut. Ia menatapnya, seolah tak mengira pertanyaan itu akan muncul hari itu.

“Pertanyaan macam apa itu?"

“Aku bukan kekasihmu?”

“Bukan orang yang kamu perkenalkan.”

“Bukan orang yang kamu perjuangkan.”

Honey menunduk. “Bukan gitu maksudku…”

Aku menahan napas. Luka itu semakin dalam, tapi aku tahu harus mengatakannya.

Lihat selengkapnya