Dear Honey

Nengshuwartii
Chapter #9

AKU PUNYA TATO BESAR DI PUNGGUNG

Kadang, ketika aku mengingat perjalanan panjangku denganmu Honey, rasanya seperti menonton film yang indah di awal, namun perlahan berubah menjadi cerita yang membuat dada sesak. Bukan karena tidak ada kebahagiaan di dalamnya, justru terlalu banyak. Tapi kebahagiaan itu seperti cahaya lilin, kecil, hangat, namun mudah padam oleh satu hembusan angin.

Hubungan ini sudah berlangsung lama. Bertahun-tahun. Banyak momen kecil yang aku simpan di hati, bahkan ketika Honey tidak pernah benar-benar memberiku kepastian.

Dan di antara semua kenangan itu, rayuan Honey selalu menempati bagian paling tajam sekaligus paling manis.

Sore itu kami berada di parkiran mobil Ancol, duduk sambil membuka jendela, membiarkan angin laut masuk perlahan. Matahari mulai turun, dan langit berubah jingga. Kami baru saja selesai keliling pantai, tertawa, bercerita tentang masa lalu seolah hidup tidak pernah memberi luka.

"Aku tuh dulu nakal banget, Bos," kata Honey sambil tertawa kecil, memandang ke arah laut. "Kamu nggak percaya deh kalo aku bilang."

Aku tersenyum. “Nakal kayak apa?”

Honey menoleh, matanya berkilat nakal tapi lembut. “Aku punya tato di punggung.”

Kalimat itu seperti petir kecil yang menyambar keingintahuan ku. Bukan karena sensualitasnya, tapi karena cara Honey mengatakannya, seolah mengatakan rahasia yang hanya boleh aku ketahui.

“Serius?” tanya ku dengan mata melebar.

Honey mengangguk pelan. “Iya. Tapi cuma orang tertentu yang pernah lihat.”

Kalimat itu membuat hati ku bergetar. Ada bagian dari diri ku yang tiba-tiba ingin tahu lebih banyak, ingin dekat, ingin memahami hal-hal tersembunyi dari Honey. Kebodohan itu datang pelan-pelan, melemahkan logika dan memperkuat rasa.

Seperti seseorang yang jatuh cinta terlalu dalam dan tidak tahu bagaimana cara berenang naik kembali.

Honey tersenyum melihat ekspresi ku. “Jangan penasaran banget gitu dong, Bos. Hahaha.”

Tapi bagaimana bisa tidak penasaran?

Bagaimana bisa tidak tertarik ketika kalimat-kalimat seperti itu terasa seperti undangan halus untuk makin mendekat?

Sebodoh itukah aku saat itu?

Iya. Sebodoh itu.

Kalimat manis itu, yang saat itu terasa seperti rayuan, akhirnya menjadi salah satu penyebab luka di akhir perjalanan, karena aku mendekat untuk sesuatu yang tidak pernah Honey beri sepenuhnya.

Masa lalu selalu menjadi hal yang membuat kami dekat. Ketika Honey bercerita tentang kehidupannya sebelum kenal aku, rasanya aku seperti menemukan versi dirinya yang lain, lebih liar, lebih bebas, lebih penuh konflik.

Setiap cerita masa lalu Honey selalu diucapkan dengan nada manis yang membuatku terperangkap.

“Dulu aku pernah kabur dari rumah cuma gara-gara nggak cocok sama omelan ibu,” katanya di salah satu momen ketika kami duduk di halaman perumahan, menunggu malam jatuh. “Aku tidur di musholla komplek.”

Aku tertawa pelan. “Kok kamu bisa begitu sih?”

Honey menghela napas sambil mengusap rambut. “Aku tuh keras kepala dari dulu. Tapi kalau sama kamu… entah kenapa lembek deh.”

Kalimat itu lagi, manis, lembut, memabukkan.

Kalimat yang membuat hati ku luluh seperti es ditiup matahari.

“Aku tuh nggak ngerti kenapa kamu bisa bikin aku nurut, Bos,” lanjut Honey sambil menunduk. “Padahal dulu sama cewek mana pun aku nggak pernah gitu.”

Aku diam. Luluh. Termakan rayuan itu. Meski kadang aku tahu, sebagian dari kata-kata itu mungkin hanya ucapan manis yang keluar otomatis, seperti kebiasaan.

Tapi bagiku, setiap kata Honey terasa seperti cahaya kecil di tempat gelap.

Aku menggenggamnya terlalu keras hingga akhirnya cahaya itu justru melukai.

Aku masih ingat ketika aku memberikan hadiah sepatu untuk Honey.

Kami sedang berada di parkiran mall. Honey membuka kotak itu perlahan, melihat sepatu navi dengan desain yang ia suka.

“Serius ini buat aku, Bos?”

Nada suaranya seperti anak kecil yang baru diberi mainan impian.

Lihat selengkapnya