“Bi, lihat. Mereka pasti mau ngelabrak aku. Jalannya kelihatan penuh emosi gitu.” Kuminta Mas Ali menoleh ke arah kanan rumah.
“Sudahlah, Ma. Jangan suudzon dulu.”
Mataku tak beranjak dari orang tua Mona itu. Sepertinya dugaanku terbukti. Mereka berhenti di depan rumah kami.
“Mbak Fatimah!”
Aku segera beranjak dari kursi dan menemuinya. Tampak wajah mama Mona memerah.“Iya, Bu. Ada apa?”
“Ada apa? Gak perlu pura-pura tidak tahu. Mbak Fatimah marahin anak saya ‘kan, barusan?” Mata mama Mona seolah hendak keluar dari kelopaknya. “Anak Anda sukanya mengejek Mona!”
Darah menggelegak, rasanya sudah naik ke ubun-ubunku. Mas Ali berdiri di belakang mengusap punggungku, seolah memberi tahu untuk menahan amarah. Kuredam rasa sesak di dada. Kusiapkan telinga mendengar omelannya hingga selesai.
“Mbak, Anda tadi marahin Mona sambil mata Anda melotot, ‘kan? Anakku sampai ketakutan. Gak nyangka aku, ternyata Anda aslinya seperti ini.”
What? Melotot? Ada juga Anda yang melototin saya. Kucoba menahan keinginan untuk menghardiknya.
“Mbak! Anda diam berarti itu benar.” Mama Mona membentakku.
“Mbak! Saya tidak marahin Mona. Saya cuma bilang kalau berteman itu yang baik. Jangan ngajak musuhan. Bicara yang baik. Mata saya memang dari lahir sudah besar. Jadi, gak marah pun keliatan besar seolah melotot!”
Pertahananku hancur. Aku sudah tidak sanggup menahan amarah yang tersimpan berbulan-bulan ini. Sengaja aku keraskan suara. Rasanya diri ini sudah semakin terdzolimi.