Namaku Fatimah, seorang ibu muda berusia tiga puluh dua tahun. Alhamdulillah, Allah menganugerahkan sosok laki-laki salih yang menjadi jodohku. Dialah Ali, suamiku tercinta. Pernikahan kami sudah berjalan hingga menapaki tahun kesebelas. Rumah tangga kami diramaikan dengan hadirnya lima buah hati yang insyaallah salih dan salihah. Rezeki yang tak ternilai harganya.
Sebagai orang tua, kami paham bahwa anak adalah bentuk tanggung jawab kepada Allah. Siapa anak kami adalah hasil didikan orang tuanya. Aku pun berusaha menjadi ibu yang baik, yang harus mampu menjadikan mereka generasi yang berakhlak mulia. Segala hal yang bisa merusak akhlak mereka kujauhkan, termasuk televisi dan gadget.
Sebenarnya, aku bukanlah ibu yang melarang anaknya bergaul dengan siapapun. Namun, semua berubah saat aku mulai menemukan gelagat tidak baik dari kedua putriku,Khadijahdan Aisyah.
Saat itu kami baru saja mulai merantau setelah sembilan tahun setengah tinggal di kampung halamanyang berada pada salah satu kota kecil di Jawa Timur. Kami membeli rumah di kota sebelah. Khadijah dan Aisyah sangat betah tinggal di sana. Mereka mendapat teman baru yang lumayan banyak di sekitar rumah. Usia mereka pun tidak berbeda jauh, masih sama-sama berseragam merah putih. Hanya saja mereka sedikit lebih senior dari Khadijah yang duduk di bangku kelas lima danAisyah yang masih duduk di kelas tiga.
Aku pun sebagai ibu sangat bersyukur melihat anaknya mampu berinteraksi sangat baik dengan lingkungan. Meskipun begitu, mereka tetap mempunyai jadwal teratur antara belajar, mengaji, bermain, dan bersosialisasi. Namun, semua berubah saat aku mendapati teman-teman mereka difasilitasi ponsel oleh orang tua masing-masing.
“Kak, teman-teman di perumahan pegang ponsel, ya?” tanyaku pada Khadijah.
“Iya, Ma.”
“Mereka nonton apa saja di ponsel?”
Aku berusaha mencari keterangan dari putri sulungku itu. Firasatku tentu saja sudah tidak baik saat melihat anak-anak memegang ponsel yang tersambung ke fasilitas internet.
“Em … kemarin itu kakak lihat mereka nonton cewek-cewek yang auratnya gak ditutup, Umma.”
“Gak pakai jilbab maksudnya?”
“Gak pakai baju, cuma dalaman aja.”
“Astagfirullah ….”
Seketika kuusap dada mendengar penuturan polos yang mencengangkan itu. Percuma jika di rumah, anak-anak kudisiplinkan tanpa gadget, tetapi saat di luar rumah peran lingkungan tidak mendukungnya. Sejak saat itu, aku melarang anak-anak bermain dengan temannya di perumahan ini.
Ternyata laranganku itu menimbulkan dampak tidak baik untuk anak-anak, bahkan juga diriku.
“Umma, tadi pulang dari toko, kakak dan Ais dihadang Mona dan teman-teman yang lain,” keluh Khadijah sesampainya dari membeli gula di toko blok sebelah.
“Dihadang gimana?” tanyaku menyelidik.
“Kami dimaki-maki. Ucapannya jelek banget. Gak berani nirukan, deh.”
“Iya, Umma. Kok gitu sih. Jelek,” ujar Aisyah menimpali ucapan sang kakak.
Khadijah menggelengkan kepalanya berkali-kali. Seperti ada rasa risih saat mendengar ucapan teman-temannya.
“Ya sudah, nanti umma kasih tahu mereka, ya, biar gak berbuat jelek seperti itu lagi,” hiburku, mencoba menenangkan mereka. Aku pun sesungguhnya juga tidak tenang. Ingin sekali kudatangi anak-anak itu.
Malam harinya, saat anak-anak sudah tidur, kucoba berbincang dengan suami tentang kejadian sore tadi.
“Bi, aku udah gak bisa nahan lama-lama, pingin kudatangi saja ibunya anak anak itu.Aku ceritakan semua kelakuan anaknya.”
“Gak perlu. Kita tambah stok sabar kita saja.”
Aku mendengus kesal. Mas Ali tampak tenang dan meneruskan membaca buku.