Kanaya menatap mata Adit dengan tajam. Perempuan itu seolah tak percaya dengan apa yang baru saja Ia dengar.
"He? Kamu bercanda, kan?"
Adit mengangkat bahunya. Laki-laki itu menggelengkan kepala kuat-kuat.
"Nope." Ujarnya singkat.
Mulut Kanaya membentuk huruf O. Lalu Ia tergelak. Melihat perempuan didepannya tertawa, sesungging senyum akhirnya terbentuk di mulut Aditya.
Tak lama berselang, keduanya nampak terbahak.
Dari kejauhan, Laras dan suaminya nampak memperhatikan keduanya yang tertawa akrab.
Pasangan suami istri itu saling berpandangan penuh arti.
Sesuatu yang baik akan terjadi. Dan mereka percaya itu.
.....
Kanaya menutup telpon. Ia lalu menghela nafas panjang. Kemudian menghembuskannya perlahan.
Lalu Ia tersenyum simpul.
Mama selalu seperti itu. Gumam perempuan itu pelan.
Ketika Kanaya merasa akan menyerah, ingin berhenti, dan menyudahi semuanya, mama selalu bisa memberikan semangat.
Menelpon mama adalah terapi paling mudah yang bisa Kanaya lakukan di saat Ia berada di titik terbawah.
Percobaan demi percobaan di laboratorium yang sudah Kanaya rancang dan lakukan dengan baik selalu saja tidak mendapatkan persetujuan dari supervisornya.
Semua yang Kanaya usulkan ditolak. Hingga perempuan itu sekarang merasa menjadi yang paling bodoh sedunia.
Dalam hati Kanaya ingin pulang saja. Ingin berhenti dan menyudahi semuanya.
Mungkin kehidupan akan menjadi lebih mudah jika Ia kembali saja ke Indonesia.
Setelah bertahun-tahun sendirian di negeri orang, membuat Kanaya banyak berpikir. Apakah ini pilihan yang benar? Apakah ini jalan yang benar?
Haruskah berhenti?
Kapan akan berakhir?
Apapun jawaban dari semua pertanyaan, Kanaya hanya menjalani hidup. Apa adanya.
Ia. Hanya sedang berusaha menjalani takdirnya.