SC. 3 INT, PESAWAT, PAGI HARI
Pesawat yang Jose naiki, kini melintasi langit. Awan-awan putih terlihat berarak. Hamparan perbukitan, birunya laut, dan hijaunya lembah terlewati. Jose tidak puas-puasnya menikmati pemandangan indah itu dari jendela sang burung besi. Walau senang mengamati panorama alam di bawah sana, anak itu ingin perjalanannya segera berakhir. Ia tidak sabar untuk bertemu ayahnya.
Narator
Teman-teman, bentar lagi aku mau ketemu Ayah! Wah, rasanya seneeeeng banget. Ayah Calvin pasti makin ganteng. Ayah masih suka pakai jas nggak, ya? Masih suka minum teh, nulis blog, dan main piano nggak, ya? Duh, mudah-mudahan kacamata Ayah minusnya nggak nambah deh.
Sementara Jose melamun, ketiga sahabatnya asyik mengobrol. Suara mereka amat berisik.
Hito:
“Livio, Andrio, tau nggak kenapa pesawat bisa terbang?”
Andrio:
“Karena punya sayap.”
Livio:
(menepuk lengan Andrio dengan penggaris) “Salah!”
Andrio:
“Terus kenapa, dong?”
Livio:
“Karena ada gaya dorong, gaya hambat, gaya angkat, dan gaya gravitasi,”
Hito:
(bertepuk tangan) “Iya, benar!”
Andrio mengangkat alis. Ia menoleh ke arah Jose.
Andrio:
“Jose. Jose, memang bener ya, pesawat bisa terbang karena ada gaya ...,”
Jose tidak memperhatikan. Ia masih sibuk membayangkan pertemuannya dengan Ayah Calvin. Sadar dirinya tidak diacuhkan, Andrio merengut. Livio dan Hito tertawa melihat ekspresinya kini.
CUT TO
SC. 4 INT, BANDARA, PAGI HARI
Perjalanan berakhir beberapa saat kemudian. Pesawat mendarat mulus di bandara. Jose, Livio, Andrio, dan Hito melangkah menyusuri lorong garbarata. Mereka melangkah dengan hati senang.
Di pelataran bandara, mata Jose menyebarkan pandangan. Ia mencari-cari ayahnya. Sebuah rencana telah tersusun di dalam pikiran begitu ia menemukan Ayah Calvin. Lama mencari, tatapan Jose tertumbuk ke arah seorang pria tampan berkacamata dan berjas hitam.
Jose:
(berseru senang) “Ayah!”
Tepat ketika ia tiba di hadapan ayahnya, Jose bernyanyi.
Teringat masa kecilku.