Dari tempatnya berdiri di seberang jalan, Justyce bisa melihat gadis itu, mantan pacarnya: Melo Taylor, terduduk lemas di samping mobil Benznya, di lantai beton lembap parkiran FarmFresh. Sebelah sepatunya entah ke mana, dan isi tasnya berserakan di sekitarnya seperti hiasan kertas warnawarni pemeriah pesta. Justyce tahu gadis itu mabuk berat, tapi ini sudah keterlaluan, bahkan untuk ukuran seorang Melo.
Jus menggeleng, teringat raut mencela di wajah Manny, sahabat karibnya, sewaktu dia meninggalkan rumah Manny tak sampai lima belas menit lalu.
Simbol JALAN menyala.
Saat dia mendekat, Melo membuka mata. Justyce melambaikan tangan dan mencopot earbud tepat ketika gadis itu berkata, “Sedang apa kau di sini?”
Justyce mempertanyakan hal yang sama, sambil menyaksikan Melo berusaha—dan gagal—untuk bangkit berlutut. Gadis itu tumbang ke sisi, wajahnya membentur pintu mobil.
Justyce segera berjongkok dan menjangkau pipi gadis itu— bersemu seperti cat mobil merah mentereng. “Ya ampun, Melo, kau tidak apa-apa?”
Melo mendorong tangannya menjauh. “Apa pedulimu?”
Perih, Justyce mengela napas dalamdalam. Dia sangat peduli. Sudah jelas. Kalau tidak, tak mungkin dia berjalan satu mil dari rumah Manny pada jam tiga pagi (menurut Manny, Melo adalah “musibah terburuk” yang pernah menimpa Jus, jadi tentu saja Manny tidak mau mengantar sahabatnya) untuk mencegah mantan pacar yang pemabuk ini agar tidak mengemudi.
Seharusnya Justyce pergi dari sana sekarang juga. Seharusnya.
Tapi itu tidak dia lakukan.
“Jessa meneleponku,” dia memberi tahu Melo.
“Cewek berengsek—”
“Jangan bilang begitu, Babe. Jessa meneleponku karena dia peduli padamu.”
Jessa tadinya berniat mengantar Melo pulang, tapi Mel mengancam akan memanggil polisi dan mengaku diculik jika Jessa tidak menurunkan dia di dekat mobilnya.
Melo memang agak berlebihan saat sedang mabuk.
“Bakal kuunfriend dia,” katanya (seperti ini contohnya). “Di kehidupan nyata dan online. Tukang ikut campur.”
Justyce menggeleng lagi. “Aku cuma ingin memastikan kau pulang dengan selamat.” Ketika itulah Justyce sadar, meskipun dia berhasil mengantar Melo pulang, dia tidak tahu dengan apa dia sendiri akan pulang. Dia memejamkan mata, sementara kata-kata Manny terngiang di kepala: kau bakal dapat masalah kalau terus-terusan menjadi Penyelamat Cewek seperti ini, Sob.
Dia memandang Melo. Sekarang, gadis itu duduk dengan kepala bersandar ke pintu mobil, setengah terlelap, mulutnya menganga.
Justyce mendesah. Jus tidak bisa memungkiri, dalam keadaan mabuk pun, Melo adalah gadis tercantik yang pernah dilihatnya—juga disentuhnya.
Badan gadis itu mulai miring, dan Justyce mencengkeram kedua bahunya supaya dia tidak jatuh. Melo berjengit, membelalak menatapnya, dan Jus bisa melihat semua pada gadis itu yang mulamula membuatnya tertarik. Ayah Melo seorang pemain linebacker yang masuk dalam NFL Hall of Fame (dia pria kulit hitam berbadan saaangaaat besar), tapi ibunya berasal dari Norwegia. Melo memiliki warna kulit Mrs. Taylor yang seputih susu, rambut berombak sewarna madu, dan mata hijau menawan yang keunguan di pinggirannya. Tapi, dia punya bibir yang sangat tebal, pinggang yang ramping, pinggul yang sangat montok, dan barangkali bokong paling bagus yang pernah dilihat Jus seumur hidupnya.
Itulah sebagian masalahnya: kecantikan Melo membuat Justyce lupa daratan. Dia tidak pernah bermimpi seorang cewek secantik Mel suka kepadanya.
Kini, Jus ingin sekali menciumnya, meskipun mata gadis itu merah, rambutnya berantakan, dan baunya seperti vodka, rokok, dan ganja. Saat Jus menyibakkan rambut dari wajah itu, Melo mendorong tangannya lagi. “Jangan sentuh aku, Justyce.”
Gadis itu mulai mengumpulkan barangbarangnya yang berserakan—lipstik, tisu Kleenex, tampon, benda bundar yang separuh berisi makeup dan separuhnya lagi berisi cermin, botol minuman. “Ah, mana kunci mobilkuuuuuu?”
Justyce melihat kunci mobil itu di depan ban belakang, dan langsung menyambarnya. “Kau tidak boleh menyetir, Melo.”
“Kembalikan.” Melo berusaha menyabet kunci, tapi malah terjerembap ke pelukan Justyce. Jus menyandarkan badan Melo lagi ke mobil, lalu mengumpulkan sisasisa barangnya ke dalam tas gadis itu—tas yang cukup besar untuk menampung belanjaan seminggu (mengapa, sih, cewek-cewek senang membawa tas tangan sebesar tas olahraga). Dia membuka kunci pintu mobil, melempar tas itu ke lantai di depan jok belakang, dan berusaha mengangkat tubuh Melo.
Kemudian, dalam sekejap, semua menjadi sangat runyam.