Justyce sedang memikirkan banyak hal ketika dia melangkah ke kelas Evolusi Sosial di hari Selasa. Salah satunya, kemarin, Dewan Juri negara bagian Nevada tidak mendukung dakwaan terhadap petugas polisi yang membunuh Shemar Carson. Semenjak dirinya pernah ditahan, Justyce menghabiskan seluruh waktu luang untuk mengikuti perkembangan kasus tersebut, dan sekarang kasus itu ... selesai.
Masih seputar polisi dan penahanan, kemarin, Justyce juga mengetahui bahwa petugas polisi yang diakui sepupu Manny telah ditembaknya, tidak lain dan tidak bukan adalah Tomás Castillo.
Yang masih mengganjal di hati Jus, dia mengenal sepupu Manny. Nama anak itu Quan Banks, dia tinggal di daerah dekat rumah Justyce. Quan satu tahun lebih muda dari Justyce, dan mereka teman bermain—dulu, saat yang terpenting bagi mereka hanya nongkrong di luar rumah sampai lampulampu jalanan mulai menyala. Seperti Justyce, Quan berhasil masuk program Siswa Akselerasi di kelas tiga, tapi setelah lulus sekolah dasar, Quan mulai bergaul dengan teman-teman yang kurang baik. Ketika Quan tahu Justyce akan belajar di Bras Prep, dia menyebutnyebut tentang seorang sepupunya yang juga bersekolah di sana, tapi Jus tidak pernah menerka siapa sepupu Quan. Dan sekarang, Quan dipenjara.
Justyce tidak bisa berhenti memikirkannya.
Benar, Castillo memang berengsek, tapi apakah dia patut mati? Bagaimana dengan Quan? Bagaimana jika dia dijatuhi hukuman mati?
Tapi, bagaimana seandainya Castillo membunuh Jus? Apakah si polisi akan didakwa?
“Kemari sebentar, Jus,” kata Doc saat Justyce menjatuhkan tas ranselnya ke lantai di samping kursi. Dr. Jarius Dray alias “Doc” adalah pembina tim debat, sekaligus guru favorit Justyce di Bras Prep. Dia Satu-satunya orang (separuh) kulit hitam bergelar Ph.D. yang dikenal Jus, dan Jus sangat mengaguminya. “Bagaimana keadaanmu, Kawan?” tanya Doc.
“Kurang baik, Doc.”
Doc mengangguk, lalu menyipitkan mata hijaunya. “Sudah saya duga,” ucapnya. “Saya ingin memberi tahu kamu, diskusi kali ini sepertinya tidak akan mengenakkan bagimu. Kalau kau ingin duduk tanpa bicara, silakan. Kau boleh pergi dari ruangan jika dirasa perlu.”
“Baik.”
Pada saat bersamaan, Manny masuk ke ruang kelas, diikuti Jared Christensen. Justyce tidak terlalu menyukai Jared—ataupun teman-teman Manny yang lain—tapi dia tahu mereka semua saling mengenal sejak TK. Karena itu, Jus berusaha memendam rasa tak sukanya.
“Pakabar, Doc?” Jared berteriak sambil melangkah menuju kursinya.
“Ya ampun, Jared. Cepat duduk sana.” Begitu tanggapan SarahJane Friedman. Kapten tim lacrosse, calon siswa teladan, dan partner debat Justyce sejak kelas sepuluh.
“Aduh, SJ, aku juga cinta padamu,” kata Jared.
SJ memelototi Jared, dan berpurapura memasukkan satu jari ke kerongkongannya, sambil mendekatkan kursi ke kiri Justyce. Justyce terbahak melihatnya.
Siswasiswa lain berdatangan ke kelas, dan ketika bel sekolah berbunyi, Doc menutup pintu dan menepuk kedua tangan untuk memulai pelajaran:
Doc: “Selamat pagi, teman-teman.”
Siswa-Siswa: [Bergumam sendiri-sendiri, melambaikan tangan, dan mengangguk-angguk]
Doc: “Mari kita mulai! Topik diskusi kita hari ini ....”
[Doc menekan tombol pada laptopnya beberapa kali, dan pada papan tulis elektronik muncul kalimat: Semua manusia diciptakan setara.]
Doc: “Siapa bisa memberi tahu dari mana pernyataan ini berasal?”
Jared: “Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, disahkan tanggal 4 Juli 1776.” [Tersenyum angkuh dan bersedekap.]
Doc: “Betul, Mr. Christensen. Dua belas dari tiga belas koloni memilih untuk memutus semua hubungan dengan takhta Inggris. Maka, ditulislah dokumen yang dikenal sebagai Deklarasi Kemerdekaan, dan sampai hari ini, salah satu kalimat yang paling sering dikutip dari dokumen tersebut, adalah kalimat yang kalian lihat di papan.”
Semua Siswa: [Mengangguk-angguk.]
Doc: “Nah, ketika kita memakai otakabad21 kita untuk mencermati kutipan itu dalam konteks sejarahnya, ada sesuatu yang agak janggal. Ada yang bisa menjelaskan maksud saya?”
Semua Siswa: [Bunyi jangkrik.]
Doc: “Ah, ayolah. Apa tidak ada sesuatu yang aneh, khususnya dengan orang-orang ini, yang menyatakan bahwa ‘setara’ adalah kodrat manusia?”
SJ: “orang-orang ini jugalah yang memusnahkan penduduk pribumi Amerika dan memelihara budak.”
Doc: “Memang benar.”
Jared: “Tapi, zaman itu keadaannya berbeda. Baik para budak maupun Indian—”
Justyce: “Pribumi Amerika atau IndianAmerika, kalau kau tidak bisa menyebut nama suku mereka, Kawan.”
Jared: “Terserah. Maksud saya, kedua golongan itu dulu tidak dianggap ‘manusia’.”
Doc: “Justru itulah yang saya maksud, Mr. Christensen. Maka, persoalannya adalah: kalimat tahun 1776 ini telah berubah penerapannya di zaman sekarang, lantas seperti apakah perubahan itu dalam masyarakat kita?
[Jeda lama saat Doc mencantumkan pertanyaan tersebut di bawah kutipan di papan tulis, lalu menarik sebuah kursi dan duduk seperti biasa, dalam lingkaran siswa.]
Jared: “Salah satu contohnya, orang-orang keturunan Afrika sekarang dimasukkan ke dalam penerapan kutipan itu. Demikian juga orang-orang ‘Indian Pribumi Amerika’.”
Justyce: [Mengeraskan rahang.]
Jared: “Kaum wanita juga! Kaum wanita tadinya tidak ter masuk, tapi sekarang kesetaraan lebih berlaku bagi mereka.” SJ: [Tertawa mendengus.] “Belum cukup setara.” Doc: “Tolong jelaskan secara terperinci, Ms. Friedman.” SJ: “Sederhana: wanita belum diperlakukan sederajat dengan pria. Terutama oleh para pria.” Jared: [Memutar bola mata.] Doc: “Oke. Itu tentang hak-hak kaum wanita. Menurut ka lian, dalam ranah apa lagi kesetaraan belum benar-benar diterapkan?”
Semua Siswa: […] Doc: “Coba ingatingat peristiwa yang terjadi belakangan ini.”
SJ: “Anda akan jadi pengacara yang buruk, Doc.” Semua Siswa: [Tertawa gugup.] Doc: “Saya yakin kalian tahu apa yang saya maksud.” Manny: “Kami sudah tahu .... Tapi, Anda sungguh-sungguh
ingin membahasnya, Doc?”
Doc: “Dialog terbuka adalah kebanggaan sekolah ini. Jadi, mari bicara.”