Dear me,
Hari ini kau lelah. Selalu lelah.
Tadi siang kau melihat ke jendela, dan seseorang sedang berdiri di seberang sana. Kau yakin dia menatapmu. Dia pasti adalah kumpulan orang-orang itu, mereka yang selalu menguntitmu kemana pun kau pergi saat kau masih kecil. Kau ingin menyalahkan semua itu padanya, ayahmu yang kau tidak tahu di mana keberadaannya sekarang. Di sisi lain, kau tidak yakin apa semua yang dilakukannya adalah buruk, dan kaulah yang satu-satunya patut disalahkan.
Kau ingat dulu, ketika dirimu masih menjadi seorang aktris cilik. Kau harus berada di depan kamera setiap waktu, tersenyum dan ceria saat kau merasa ingin menangis. Bahkan di sekolah kau tidak tahu apa teman-temanmu benar-benar menyukaimu atau menyukai sekaligus membenci ketenaranmu. Yang selalu membuatmu kesal adalah tatapan iri mereka saat kau diberi izin untuk tidak bersekolah; kau tidak selalu menikmati pengalaman itu.
Usia empat tahun adalah usia dimana kau mulai memasuki dunia itu. Awalnya, tentu saja kau menyukainya. Ekonomi keluargamu tidak terlalu baik dan ayahmu bekerja serabutan, sehingga ketika seseorang mengajakmu untuk syuting sebuah iklan, tentu saja kau dan orangtuamu senang. Kau ingat penampilan pertamamu di televisi: tertawa-tawa dan bermain air. Selama tahun-tahun berikutnya kau sudah terbiasa dengan syuting beberapa kali setiap bulan sementara kau masih bisa pergi ke sekolah, dan mendapat uang saku yang lebih banyak dari biasanya.
Lalu munculah sebuah hal yang mengubah hidupmu…
Saat itu kau baru saja berulang tahun ke-7 di lokasi syuting. Kau berperan sebagai anak salah satu tokoh pendukung di sebuah sinetron. Kau dan ayahmu sudah bersiap-siap untuk pulang, ketika seorang pria, botak dan berkacamata, menghampiri.
“Selamat malam,” ia menyapa.
“Oh, Bapak Produser. Selamat malam,” jawab ayahmu.
“Malam, pak,” kau ikut menyapa.
Pak Produser, bernama Anton, tersenyum. “Ada yang ingin saya bicarakan. Kira-kira kapan ya kita bisa berbicara secara serius?”
Ayahmu mengangkat alis. “Oh, besok sore bisa, pak. Bapak bisa datang ke rumah kami besok sore, sekitar jam 4. Shera tidak ada jadwal syuting.”
“Besok, ya?” Produser Anton mempertimbangkan, lalu berkata, “Baik, besok saya datang ke rumah, ya.”
“Baik, pak. Kami pulang dulu, pak.”
“Ya, hati-hati.”
Pasti ayahmu pulang dengan penuh pertanyaan waktu itu. Setelah sampai di rumah, ayahmu memberitahukan hal ini pada ibumu lalu berdiskusi di kamar mereka, tidak salah lagi membicarakan Produser Anton. Pertanyaan kedua orangtuamu memang terjawab esok harinya, ketika kau sedang dimarahi ayahmu dan ibumu melihat sambil meringis kesakitan, memegangi lengan sebelah kanan.
“Sudah kubilang kamu harus tampil cantik dan nurut di depan Produser! Bagaimana kalau dia benar-benar memecatmu karena kamu terlalu susah untuk diatur, huh? Susah sih, ya, anak bodoh seperti kamu tuh susah ngertinya!”
Kau hanya menunduk.
“Nggak mau tahu, pokoknya sekarang juga kamu harus pakai baju yang merah muda. Kamu itu artis cilik, harus selalu cantik! Kalau nggak, nanti boneka beruang kamu Papa rusakin dan buang ke selokan! Ngerti?”
Kau mengangguk, merasakan matamu perih karena menahan air mata.
“Kalau sudah selesai, cepat keluar untuk didandani!” lalu ayahmu menutup pintu kamarmu.
Kalau kau mengingatnya sekarang, mungkin hal seperti itu bukanlah masalah besar. Kau selalu berusaha mencari pembenaran dari setiap kata-kata ayahmu: bahwa ia hanya menginginkan anaknya terlihat cantik di depan orang yang mempekerjakannya, dan itu sama sekali tidak salah. Tapi kemudian kau ingat bahwa ia menginginkan yang lebih dari itu…
Tidak lama setelah ibumu mendandanimu sambil sedikit meringis kesakitan setiap ia menggerakkan lengan kanannya (“sedikit kecelakaan ketika Mama masak, nggak apa-apa, kok,”), kau mendengar suara pintu depan diketuk. Ayahmu melirikmu dingin, “Ingat kata Papa!” lalu bergegas menuju pintu depan.
Kau bisa mendengar suara Produser Anton mengucapkan salam yang kemudian dibalas oleh ayahmu. Ayahmu lalu memanggilmu untuk menghampirinya ke ruang tamu. Kau berjalan dengan anggun sebisa mungkin, ibumu mengikuti di belakang. Begitu kau berada di ruang tamu, kau memasang senyuman termanismu pada Produser Anton.
“Selamat sore, Pak Anton,” sapamu.
“Sore, Shera. Waah, kamu terlihat cantik sekali sore ini.”
“Terima kasih.”
Ayahmu lalu mempersilakan Produser Anton untuk duduk.
“Ada apa, ya, Pak? Apa mungkin… Shera dipecat dari sinetronnya?” Ayahmu bertanya hati-hati.
Produser Anton tertawa kecil. “Ah, tidak, bukan itu. Shera anak yang sangat manis dan berbakat, bagaimana mungkin dia dipecat? Bukan, justru kebalikannya. Saya ingin menawari Shera sebagai peran utama untuk sebuah film anak.”
Kau menoleh, melihat ayah dan ibumu yang masing-masing duduk di sebelahmu membelalak dan membuka mulut mereka.
“Peran… utama?” ibumu menyuarakan pikirannya.