Dear Me

Linda Agnesia
Chapter #4

Minggu, 30 Juni

Dear me,

Seminggu ini kau benar-benar menguras tenagamu. Selain karena faktor pekerjaan, kau merasa sedikit kesulitan untuk menulis surat. Setiap malam, kau tidak bisa tidur. Kau lalu mencoba berkonsentrasi di pekerjaan, tapi sama sulitnya. Belum lagi, setiap malam kau mendengar suara-suara lirih di luar, meskipun tentu saja, itu mungkin para tetangga. Namun mereka sangat mengganggu. Dan kejadian dua hari lalu benar-benar membuatmu takut.

Kau baru saja keluar dari gedung kantor, berjalan menuju mobilmu yang diparkir di sudut trotoar. Kau membuka pintu depan mobilmu, dan tiba-tiba kau melihatnya. Orang yang sama yang berdiri di seberang jendela kantormu beberapa hari lalu dan melihat ke arahmu.

Orang itu mengenakan pakaian yang sama. Jaket abu-abu yang menutupi bagian atas tubuhnya, celana hitam dan sepatu kets hitam. Kau tidak bisa melihat mukanya karena tertutup topi, kupluk dan masker. Orang itu duduk di bagian tengah mobil, menunduk. Kau yakin ia sedang menunggu waktu yang tepat untuk membunuhmu.

Kau menjerit, berlari menjauh dari mobilmu. Kau bahkan tidak memedulikan orang-orang di sana yang melihatmu dengan tatapan terkejut. Kau terus berlari dengan tidak membelakangi mobil, berjaga-jaga agar kau tahu pergerakan penguntit itu.

Tiba-tiba bahumu terbentur sesuatu. Kau menjerit lagi dan berbalik, tapi itu hanyalah Risa yang memandangmu dengan khawatir.

“Ada apa, Sher? Tenang, Sher, tenang,” kata Risa, memegang kedua bahumu.

Kau menelan ludah, mengatur napas untuk berbicara.

“Di sana,” kau menunjuk mobilmu yang pintu depannya masih terbuka, “ada seseorang. Pasti penguntit. Duduk di mobilku,” kau menjelaskan dengan terengah-engah.

Risa mengangguk-angguk.

“Oke, ayo kita lihat bareng-bareng, dan tangkap penguntitnya,” ajak Risa.

Kau mengangguk. Berpengangan tangan, kau dan Risa berjalan menuju mobilmu.

Kau bisa merasakan jantungmu yang berdegup lebih cepat daripada biasanya. Tanganmu gemetar dan terasa basah. Langkahmu semakin dekat ke mobil yang masih terbuka itu, dan akhirnya kau sampai di depannya.

“Nggak ada siapa-siapa,” sahut Risa dari sampingmu.

Kau memberanikan diri membuktikan hal itu dengan melihat ke dalam mobil. Dan Risa benar. Tidak ada siapa-siapa di sana.

Kau mengembuskan napas lega, tanganmu tidak lagi segemetar tadi.

“Mungkin cuma halusinasi aja,” Risa menyarankan.

Kau menatapnya tajam. Kau yakin itu bukan halusinasi. Kau yakin penguntit itu akan kembali, sehingga kau memandang ke seluruh bagian jalan yang bisa kau lihat untuk memastikan penguntit itu benar-benar sudah hilang.

“Itu bukan halusinasi. Penguntit itu ada, tapi dia sudah pergi sekarang. Aku yakin dia pasti akan kembali,” ujarmu.

“Kalau benar, kenapa kamu tidak coba lapor polisi saja?” tanya Risa.

 “Harus ada bukti kan, kamu juga tahu itu. Aku harus menangkap dia dulu, tahu siapa orang itu. Kalau sudah ada bukti, aku pasti akan segera lapor polisi.”

“Oke. Kalau gitu, hati-hati di jalan, ya,” kata Risa.

Kau mengangguk, mengucapkan terima kasih padanya dan mulai mengendarai mobilmu menuju rumah.

Kau pikir, penguntit itu telah selesai mengikutimu pada hari itu. Pemikiran yang sangat salah.

Kau tinggal di sebuah perumahan sederhana. Sebagian besar penghuninya adalah keluarga dengan anak-anak mereka yang masih kecil. Kau adalah satu-satunya wanita yang tinggal sendirian di perumahan ini, suatu fakta yang tidak pernah berhenti menjadi bahan gosip para tetangga.

Lihat selengkapnya