Dear me,
Hari pertamamu berangkat kerja setelah postingan di internet itu menjadi viral adalah salah satu momen paling menakutkan dalam hidupmu. Kau membuka pintu lobby kantor dengan hati-hati, berusaha menundukkan kepala dan tidak menarik perhatian siapapun. Untungnya, tidak ada kejadian signifikan dalam perjalananmu dari pintu lobby menuju lift.
Saat kau telah memasuki lift-lah, jantungmu tiba-tiba berdegup kencang.
Kau sengaja mengambil tempat di ujung kanan bagian belakang. Toh, mereka yang berdiri di depan banyak yang turun di lantai 5, tempat kantormu berada. Beberapa orang yang berada di dalam lift sempat memandangmu, entah karena tulisan di internet itu atau kau hanya paranoid.
Namun, kalaupun kau memang paranoid terhadap orang-orang yang berada di dalam lift, satu orang yang berdiri di ujung kiri dan hanya dipisahkan dua orang darimu, benar-benar memandangimu. Kau yakin dia memandangimu meskipun kau tidak bisa melihat matanya, karena kepala orang itu menolah ke arahmu dan kau pernah melihat penampilan orang itu sebelumnya.
Ia mengenakan jaket abu-abu dengan kupluk yang menutupi kepalanya. Kali ini, wajahnya benar-benar tertutup dengan masker dan kacamata hitam. Dia datang lagi, penguntit yang sempat mengikutimu ke rumah, kini berada di satu lift bersamamu.
“Aaaargh!” kau berteriak tanpa sadar, jantungmu berdegup kencang.
Semua orang di dalam lift melihatmu. Pria yang berdiri paling depan dengan kemeja biru bertanya, mewakili pandangan terkejut yang lainnya.
“Ada apa?”
“Di sana!” kau menunjuk tempat penguntit itu berada, yang anehnya, sekarang ia hilang.
Mata semua orang tertuju pada arah yang kau tunjuk, dan mereka terlihat kebingungan.
“Di sana ada apa?” kini seorang wanita yang berada di depanmu bertanya.
Kau tertegun, membuka mulutmu tapi tidak keluar jawaban apapun.
“Hei, kamu Shera, kan? Yang lagi viral di internet itu, yang mantan aktris cilik?” wanita itu kembali bertanya.
“Bukan,” jawabmu segera, menolehkan kepalamu pada sudut lift. Kau masih merasakan orang-orang itu memandangimu. Kau benci dirimu sendiri telah membuat dirimu menjadi pusat perhatian—bukan, kau membenci penguntit itu. Dialah yang membuatmu jadi pusat perhatian saat kau berada di lift.
Begitu pintu lift terbuka di lantai 5, kau mengembuskan napas lega dan segera bergegas ke ruanganmu. Kau menoleh ke belakang, berjaga-jaga seandainya penguntit itu muncul lagi, tapi dia tidak terlihat di mana pun. Mungkin kau memang hanya berhalusinasi saat itu. Tidak mungkin dia bisa tiba-tiba saja menghilang dari lift hanya dalam waktu beberapa menit, bahkan pintu lift pun masih tertutup.
Itu adalah kesimpulan yang kau ambil.
“Ya, besok. Tolong bawa, ya!” kau mendengar suara itu begitu kau memasuki ruanganmu. Kau menoleh, mendapati Adit tengah berbicara dengan Risa. Kau menghiraukan mereka dan terus berjalan menuju kursimu.
“Oke deh. Tapi inget ya, cuma dipinjam satu hari,” Risa memperingatkan.
“Sip!”
Kau menoleh lagi, melihat pria itu mengacungkan jempolnya. Pandanganmu lalu beralih ke saku celana Adit. Sebuah gagang kacamata berwarna hitam terlihat di sana.
Saat itu, Adit menyadarimu memperhatikannya; ia menoleh dan tersenyum padamu. Kau tidak membalas senyumannya.
Adit lalu keluar dari ruangan kerjamu, dan kau menghampiri Risa.
“Mau apa dia?” tanyamu.
“Biasa, pinjam laporan minggu kemarin. Kenapa?”
“Kamu lihat dia bawa kacamata di saku celananya? Ngapain?”
“Kacamata di saku celana? Mana aku tahu, aku nggak perhatiin saku celananya dia. Kenapa kamu tiba-tiba nanyain itu?”
Tanpa menjawab pertanyaan Risa, kau bergegas menghampiri Adit untuk mendapat jawabanmu sendiri.
“Adit!” kau memanggil pria itu. Dia sedang berjalan di lorong menuju ruangannya.
Adit berbalik. Ia tampak kaget melihatmu.
“Shera! Tumben kamu manggil aku. Ada apa?” ia bertanya dengan sumringah.
Kau tidak tersenyum padanya, melainkan memberinya pandangan tajam.
“Kamu bawa-bawa kacamata di saku? Boleh aku lihat?”
Adit mengangkat alis. “Kacamata? Kenapa?”
“Mau lihat aja. Boleh?”
Adit mengangguk, mengeluarkan kacamatanya dari saku.
“Akhir-akhir ini penglihatan suka burem kalau menatap komputer. Jadi aku bawa ini buat kerja di depan komputer aja,” ia menjawab.
Setelah dikeluarkan, kau bisa melihat bahwa itu hanyalah kacamata biasa. Gagangnya berwarna hitam, namun tidak dengan lensanya. Kau merasa sedikit kecewa.
“Oh, gitu. Oke. Ya, aku bisa ngerti. Eh.. makasih. Aku harus kerja dulu. Kamu juga, kan?” lalu kau mengangguk padanya, dan meninggalkan pria itu.