"Maafkan aku, Naura. Aku tak bisa melanjutkan hubungan kita lagi."
"A-apa yang kau u-ucapkan? Aku gak terlalu jelas mendengarnya."
Pria itu menghela napas panjang. "Kita putus!"
"Ke-kenapa?"
Naura tak menyangka akan mendengar kalimat yang paling menyakitkan di telinganya, setelah melakukan kencan indah bersama sang kekasih beberapa menit yang lalu. Padahal pria yang dicintainya inilah sejam yang lalu merancang acara kencan indah mereka. Dengan repotnya membuang tenaganya menjadi sia-sia belaka, yang ujung-ujungnya justeru memberikan luka batin padanya. Yang entah sanggup atau tidak setelah ini dia menjalani hari-harinya kembali. Kalau pada akhirnya akan jadi begini, tentu dia menolak ajakan kencan indah tapi menyakitkan ini. Perlahan buliran bening mengalir di sudut mata indah gadis manis ini.
"Ke-kenapa secepat ini?" tanya Naura dengan bibir bergetar. Hal yang paling ditakutinya selama bernapas adalah kata putus dari sosok yang paling dicintainya. Baginya, sosok ini adalah separuh napasnya. Bila dia pergi meninggalkannya, maka separuh jiwanya akan ikut pergi dari raganya.
"Kenapa kau ingin putus dariku?" tanya Naura lagi dengan isakan makin terdengar jelas dari cela bibirnya.
"Kurasa kau sudah tahu jawabannya sendiri, Naura."
Jantung Naura seolah berhenti berdetak saat itu juga. Air matanya telah menganak sungai. Ia tahu jawabannya dengan pasti.
"A-apa karena a-aku gak bisa memberikan seorang anak padamu?"
"Ya."
Kejam dan dingin. Jawaban yang didengarnya dari belah bibir pria di depannya ini.
"Maka dari itu, sebelum melangkah lebih jauh ke jenjang pernikahan, lebih baik aku akhiri saja hubungan kita."
Naura terduduk lemas di aspal jalan. Ia menangis meraung. Tak peduli bila dilihat oleh pejalan kaki lainnya. Tak ada harapan lagi. Pria yang disangkanya akan mengerti keadaan dia sepenuhnya, juga tak mengerti dirinya.
"Sekali lagi maafkan aku, Naura."
"Kau tega padaku?” tangisnya.
"Mengertilah, Naura. Aku juga butuh anak untuk meneruskan keturunanku."
"Enggak. Aku gak mau mengerti. Kembali padaku. Kumohon. Arrrgh!" Naura memekik. Menatap nanar punggung dingin pria itu tanpa berlari untuk mengejarnya. Ia tak sanggup. Kalimat terakhir pria itu mampu membuat kakinya menjadi berat bagai besi baja yang tertanam kuat di aspal jalan.
Mengertilah Naura. Aku butuh anak untuk meneruskan keturunanku ....
***
“Aku butuh anak untuk meneruskan keturunanku ...”
Berangsur-angsur Naura membuka mata. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamar. Meraba pipinya. Tanpa disadarinya, bulir bening telah berjatuhan di sudut matanya ketika mengingat kembali mimpinya tadi. Mimpi buruk yang selalu menghantuinya selama dua tahun belakangan ini. Kenangan pahit yang berusaha untuk dilupakannya, justeru menjadi mimpi paling buruk baginya.
Naura mendesah. Membalik tubuhnya. Berusaha untuk kembali memejamkan mata. Namun gagal total. Ingatan tentang mimpi buruknya justeru makin menancap kuat di pikirannya, memerintahkan otaknya untuk terus bekerja, tidak mau kompromi dengan tubuhnya yang terasa lelah. Mengembuskan napas pendek. Dengan malas-malasan Naura bangun dari baringannya. Duduk di sisi petiduran. Matanya memandang kosong pada dinding kamar yang cat-catnya mulai memudar.
Lalu sekarang apa yang akan dilakukannya?
Diliriknya jam beker di atas nakas di sampingnya. 00.30 AM. Masih sangat malam. Sebaiknya ia ambil air wudhu dan sholat tahajud. Mungkin setelah sholat, hatinya bisa menjadi tenang dan bisa tidur lagi.
***