Naura baru saja selesai mengantri makanan dengan nampan yang telah terisi sepiring nasi beserta lauk pauk, semangkuk kecil salad dan segelas air putih. Ia berjalan menuju tempat duduk, bergabung bersama rekan kerjanya yang telah terlebih dahulu duduk di kantin.
"Gosip-gosipnya si Alice ikut program inseminasi," celetuk Irene ketika Naura meletakkan nampan makanannya ke samping gadis dengan kulit putih pucatnya itu. Telinga Naura mengembang mendengar percakapan kelima rekan satu mejanya tanpa berniat ikut nimbrung.
"Alice?" tanya Nindi. Di antara rekan-rekan Naura lainnya, Nindi termasuk yang paling muda setelah Naura di bagian departemen umum tempatnya bekerja.
"Iya."
"Alice yang berada di departemen riset dan pengembangan, itu, kan?" tanya rekan Naura lainnya.
Irene memutar bola matanya. "Iyalah. Memang nama Alice di perusahaan kita ada berapa orang?"
"He he he."
"Gak heran juga sih, Alice ikut program kehamilan. Dia menikah lebih dari lima tahunan. Wajar bila kepingin punya momongan," komentar rekan Naura yang lainnya.
"Terus gimana? Apa Alice berhasil?"
"Kabarnya sih berhasil."
"Wah, berarti sudah hamil dong."
"Iya. Katanya sudah ngisi sebulan."
Naura tercenung mendengar rumpi-rumpi para rekannya. Berhasil.
Bagaimana kabar program kehamilannya?
Sudah lewat tiga hari semenjak pertemuannya dengan Neil di rumah sakit waktu itu. Sampai sekarang dia belum dihubungi kembali oleh Neil.
Apa Neil tak mau membantunya?
Nanti gue telepon Kak Neil lagi. Serius gak mau bantuin gue, batin Naura mengaduk-aduk makanannya tak semangat. Nada notifikasi dari aplikasi whatsapp membuyarkan lamunannya. Segera diambilnya smartphone dari balik saku seragam blazer hitamnya. Melihat siapa yang mengirim pesan. Seketika pupil matanya membesar menatap layar smartphonenya, bagaikan menang undian berhadiah ratusan juta rupiah, Neil mengiriminya pesan.
Panjang umur Kak Neil, baru saja gue omongin, batinnya. Dengan senyum lebar, Naura membalas pesannya setelah pamit kepada rekan-rekannya kembali duluan ke kantor.
[Naura, kamu lagi di mana?]
[Di kantor.]
[Sibuk ya?]
[Gak juga.]
[Kakak ganggu ya?]
[Gak. Ini juga baru selesai makan siang di kantin,] balas Naura seraya mendudukkan pantatnya di balik sekat dinding ruang kerja miliknya.
[Gimana Kak dengan programnya?]
Jari-jari lentiknya dengan lincah menari di touch keyboard seiring dirinya yang sudah tak sabaran untuk mengajukan beberapa pertanyaan.
[Nah, itu dia. Kakak mau membahasnya sekarang, tapi gak di sini.]
[Oke. Aku ke rumah sakit sekarang? Apa gimana?] tanya Naura.
Naura meletakkan smartphonenya kembali ketika rombongan Irene sudah kembali dari kantin. Diliriknya sekilas smartphonenya saat mendengar suara notifikasi WAnya. Namun tak segera dibukanya, takut mengganggu. Mengingat waktu makan siang telah habis, saatnya kembali serius ke pekerjaan.
Selang lima belas menit, Naura tergelitik untuk mengintip pesan WAnya. Dia melirik kiri-kanan dahulu, memastikan kalau tak ada rekannya yang ikutan nimbrung membaca pesannya. Jaman sekarang, orang selalu ingin kepo akan kehidupan orang lain.
[Kamu bisanya kapan?]
[Kapan pun aku siap Kak. He he he,] balas Naura tersenyum.
"Cie, senyum-senyum sendiri. Pasti dari doi ya," celetuk Irene berbisik. Tahu-tahu sudah berada di belakang Naura.
"Eh? Ah? Bu-bukan kok," jawab Naura tergagap, buru-buru menutup aplikasi WAnya.
"Gak usah malu, kalau itu memang dari doi."
"He he he." Naura ngenyir.
"Kalau sudah klik, jangan lupa undangannya ya."
"Ih, ngawur."
"Kok ngawur? Seharusnya lo itu bilang amin. Ucapan itu adalah do'a, lho."
"Iya. Iya. Serah lo saja, deh." Naura menyelipkan poni ke telinganya.
"Siapa, Naura?" tanya Irene lagi.
"Apanya yang siapa?" Naura menaikkan salah satu alisnya. Mulai deh sifat keponya, batinnya bersungut akan rekan kerjanya satu ini.
"Doi lo."
"Oh itu. Song Joong-ki, yang baru saja nyandang gelar duda keren. He he he."
"Sialan lo," sungut Irene, kembali fokus ke pekerjaannya, tak bertanya-tanya lagi. Naura terkekeh geli. Akhirnya bisa juga nutup mulut rekannya ini.
Naura kembali fokus ke smartphonenya. Mengintip balasan dari Neil.