“Jadi, lo hamil melalui proses inseminasi tanpa menikah terlebih dahulu?” tanya Sunny--sedikit--kaget mendengar cerita Naura ketika mereka sampai di apartemennya. Keduanya duduk di sofa tunggal panjang ruang keluarga.
Naura hanya mendengung samar sebagai jawaban. Tak ada yang perlu disembunyikan dari sahabatnya ini, bahkan ketika putus dari Raka, Sunny orang kedua yang mengetahui hubungannya telah kandas setelah Neil, tentunya. Sunny termasuk sosok orang yang pemikirannya terbuka dan berpikir dahulu sebelum bertindak, tak langsung memakan mentah-mentah informasi begitu saja. Sunny mau mendengar opini atau sudut pandang orang lain yang berbeda, maupun yang tidak, sesuai dengan pemikirannya sendiri, tanpa melontarkan komentar pedas tak bermutu ala kids jaman now.
“Gue salut sama lo. Berani mengambil risiko tinggi, tak memikirkan cibiran orang sekitar.”
Naura tersenyum simpul. “Gue cuma kepingin punya Baby. Tapi belum ada niatan menikah."
"Terus, lo milih jalan itu?"
"Melalui inseminasi itulah jalan keluar gue satu-satunya, Sun.”
"Jalan satu-satunya ya." Sunny mengelus dagu.
"Begitulah." Naura mengangkat bahu.
“Itu artinya lo masih gak bisa move on dari dia, ya,” goda Sunny dengan menaik turunkan sebelah alisnya.
“Apaan lo. Gue sudah move on sejak lama." Naura mengerucut dengan rona kemerahan menghiasi pipi putihnya.
“Bohong lo.”
“Sok tahu lo.” Naura menoyor kepala Sunny.
“Tapi gue benaran, Na."
"Benaran apaan."
"Lo belum bisa move on seutuhnya dari dia."
"Mana buktinya," ucap Naura, berusaha sebisa mungkin suaranya tetap datar.
"Saat makan di restoran tadi. Lo gak nafsu makan."
"Itu karena gue lagi gak mood. Mungkin juga karena kehamilan gue ini," kilahnya memandangi perut buncitnya. Pikirannya segera melayang ke pertemuannya bersama Raka di restoran tadi. Baik dia dan Raka, tak ada yang berbicara satu sama lainnya. Ia hanya mendengarkan Raka berbicara dengan Sunny, tanpa ikut nimbrung atau memandang langsung wajah Raka. Dalam pikirannya hanya satu, pertemuan ini segera berakhir, dan menjauh dari Raka secepatnya. Ia tak nyaman bila terlalu lama berada di sekitar pria masa lalunya ini.
“Bila itu memang keputusan lo ." Sunny kembali kepembicaraan serius mereka sebelumnya, memecahkan lamunan Naura. "Gue gak bisa berbuat banyak lagi, cuma bisa beri dukungan dan semangat saja. Asal lo bahagia dan nyaman dengan keputusan lo itu. Ya sudah, jalani saja apa adanya.”
“Sunnyyy. Lo memang sahabat gue yang paling mengerti, dan paling sehati sama gue.” Naura menghambur kepelukan gadis berambut pendek sebahu itu.
“Ih, geli gue kena perut buncit lo. Mana sesak lagi." Sunny terkikik sembari menepuk-nepuk punggung Naura.
Naura melepaskan pelukannya. Kedua sahabat ini saling berpandangan. Dan tertawa bersama, kemudian mulai berbincang menceritakan kehidupan masing-masing, selama tak bertemu secara langsung hampir dua tahun ini. Kesibukan masing-masing membuat keduanya tak punya waktu luang untuk menyapa, hingga akhirnya menjadi jauh. Setelah puas berbincang, Sunny mengajak Naura melihat kamar yang akan di tempatinya.
“Yuk, gue antar ke kamar lo.” Sunny beranjak dari duduknya--diiringi Naura di belakangnya--sembari meraih koper dan menariknya menaiki lantai dua.
“Ini yang lo bilang kecil?” Naura mengerjap.
“Apanya?”
“Apartemen lo.”
Sunny tak menjawab, hanya mengedikkan bahu. Sedari masuk ke apartemen Sunny, Naura dibuat terperangah akan apartemennya. Sepanjang perjalanan menuju ke apartemennya, Sunny selalu berkata kalau apartemennya kecil dan jelek. Nyatanya, tak sesuai dengan pendeskripsian yang di gambarkan Sunny tadi. Apartemennya begitu mewah dan berada di kawasan elit pantai Hyeopjae.
“Pasti mahal harga apartemen di sini,” terka Naura.
“Iya,” jawab Sunny tak memungkiri. Juga bukan untuk bermaksud sombong pada sahabatnya ini.
“Pasti lo nyiapin duitnya juga bejibun.” Naura tercengir sambil menaiki anak tangga satu persatu.
“Gak juga. Bahkan gue santai saja soal uang.”
“Mulai deh tinggi hati," cibir Naura.
“Bukan begitu. Sebab bukan gue yang beli apartemen ini.”
“Lo nyewa? Kalo begitu lebih berat lagi, dong.” Mulut Naura membulat.
“Gak nyewa juga. Ini memang apartemen milik gue. Tapi dibeliin pacar gue.”
“Wow, berarti doi-nya kaya.”