"Kak Neiiil, maaf, baru bisa beri kabar, habisnya selama seminggu ini sibuk banget." Naura langsung mencerocos ketika teleponnya tersambung ke Indonesia, di mana Neil berada. Saat ini, ia sedang sendirian, beristirahat makan siang di rooftop perusahaan. Menjadi seorang karyawan di tempat kerja baru, membuatnya harus kembali beradaptasi dengan lingkungan perusahaan. Baik itu masalah pekerjaan, atau pun bersosialisasi dengan pegawainya.Satu hal yang membuatnya senang dan nyaman di lingkungan kerja barunya, dirinya tak perlu menyembunyikan kehamilannya.
"Nggak apa-apa. Kakak juga, dalam minggu ini sibuk ngurusin pindah tugas. Jadi tak sempat juga nelepon kamu."
Kening Naura bekernyit dalam mendengar ucapan ganjil Neil. Akan tetapi, tak terlalu dicernanya. Rasa lapar mengalahkan logikanya. Ia duduk bersilang menikmati bekal buatannya. Ia memasak sendiri bekalnya, meski cuma mie yang dimasaknya, dicampur dengan beberapa sayuran, telur dan sosis, namun itu terlihat lezat. Lucunya, walau berada di Korea, Naura justeru memakai mie bermerk Indonesia. Baru juga seminggu berada di Korea, Naura sudah rindu makan mie buatan negara sendiri. Mungkin faktor kehamilannya, membuatnya mengidam makan mie merk dari Indonesia.
"Sekarang masih sibuk, Kak?" tanyanya.
"Gak juga. Lagi ngecek daftar pasien yang baru."
"Aku ganggu?"
"Enggak. Kakak malah senang, akhirnya kamu memberi kabar. Tadinya Kakak yang mau nelepon."
"Oh."
"Gimana kondisi kehamilanmu?"
"Baik-baik saja, Kak. Dedek bayinya sehat, akunya juga." Naura mengelus perut buncitnya dari balik blazer birunya yang terbuka - sengaja tak dikancingnya, agar memudahkannya menarik napas. Samar telinganya menangkap Neil mengembuskan napas lega di seberang telepon.
"Syukurlah. Ada keluhan lainnya?"
Naura mengelus bibir. "Sampai sejauh ini belum ada, cuma sering muntah-muntah saja."
"Itu normal diawal kehamilan. Kalau sudah lewat tri semester pertama, kau gak akan lagi merasakan mual dan ngidam. Kau juga ngidam, kan?"
"Iya. Malah sekarang lagi ngidam makan mie buatan Indonesia." Naura mengerucutkan bibir plum tipisnya.
"Ada-ada saja kau ini, jauh-jauh merantau ke negeri orang, makannya mie." Neil terkekeh geli.
"Begitulah." Naura mengedikkan bahu.
"Sekarang kau tinggal di mana?"
"Numpang sementara di apartemen Sunny." Selama lima belas menit Naura menghabiskan waktu, berbicara di telepon bersama Neil. Ia mengakhiri obrolannya ketika salah satu rekan kerja memanggilnya. Lekas Naura membereskan kotak bekal sisa makanannya. "Sudah ya, Kak, Naura mau kerja lagi. Nanti malam aku telepon lagi," tutupnya.
"Oke."
***
Sesuai ucapannya siang tadi di kantor. Malamnya, Naura kembali menelepon Neil, membicarakan soal kandungannya.
"Kakak, aku mau tanya."
"Tanya apa?"
"Kandunganku besok menginjak bulan kedua," jelas Naura.
"Terus?"
"Aku mau check up. Tapi, aku bingung."
"Bingung kenapa?"
"Aku bingung mau check up ke dokter mana. Soalnya, aku belum pernah datang ke rumah sakit di sini (pulau Jeju), terus, bahasa Korea aku juga masih tingkatan bayi baru merangkak," cerocos Naura.
"Minta antar sama Sunny saja."
"Mulai malam ini, dan seminggu ke depannya, Sunny gak ada di apartemen."
"Memangnya Sunny ke mana?"
"Dia pulang ke Indonesia sama pacarnya." Naura mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping. Sementara tangannya memainkan mata besar boneka kodok---entah siapa yang mengirimnya, ia tak tahu. Kemarin malam ia sempat cerita sama Sunny, mengidam ingin peluk boneka kodok. Keesokan paginya ia mendapatkan kiriman tanpa nama untuknya. Saat dibuka, ternyata itu boneka kodok. Kala ia tanya sama Sunny, apakah dia mengirimnya, Sunny jawab tidak.