Naura membuka paksa mata lebar-lebar, memandang sayu pada langit-langit kamar. Gelap masihlah setia menemani sunyinya malam. Kehangatan selimut yang tersaji bagai berada dalam pelukan hangat sang kekasih, tak mampu membuatnya terbuai kembali ke alam mimpi. Naura mendesah panjang. Ia bukan terbangun karena bermimpi buruk, melainkan terbangun karena perutnya lapar. Repotnya lagi, ingin makan Jajangmyeon pedas dan masih panas sekarang juga. Haruskah tak mengabulkan kembali permintaan jabang bayinya, setelah seminggu yang lalu gagal memenuhi keinginan mengidamnya ini.
"Baby, please. Mintanya jangan yang susah-susah ya, Mommy bingung cari makanannya ke mana," gumam Naura memelas seraya mengelus perut buncitnya, seolah memohon pada sang kekasih untuk tetap tinggal dengannya.
"Mana lagi sudah turun salju. Di luar dingin," tambahnya dengan melirik tirai jendela yang terbuka lebar. Butiran-butiran salju turun dengan derasnya. Melihat salju putih itu, siapa yang mau ke luar membeli Jajangmyeon, terlebih di jam tengah malam seperti ini. Namun sepertinya, sang jabang bayi tak mengerti kehendak sang ibu. Perutnya mengaum keras, seakan berdemo pada kepala departemen perusahaan, berusaha mengeluarkannya dari zona nyamannya.
"Ayolah, Baby, kita makan yang lain saja, ya, ya, ya," bujuk Naura. Lagi-lagi perutnya mengaung keras sebagai jawaban. Naura mengembuskan napas berat berkali-kali, wajahnya mencebik. Ternyata calon bayi-nya tak menuruti keinginannya. Dengan lesu ia bangun dari baringannya. Duduk bersila sambil bertopang dagu, sesekali meniup-niup poninya yang menjuntai. Keningnya berkerut dalam layaknya seorang filsuf yang berpikir keras. Memikirkan siapa yang akan bersedia dimintai tolong olehnya, di tengah malam dan di tengah cuaca dingin begini. Sunny atau pun Do-jin, yang biasanya dia buat repot untuk menuruti acara mengidamnya, baru saja pulang ke Indonesia. Dan itu pun, kembali ke apartemen seminggu kemudian.
"Hey!" Naura meraih boneka kodok-nya, menatap mata bulat besarnya begitu lekat. "Bantuin aku mikir dong," lanjutnya sambil menekan-nekan mata besar bonekanya.
Entah mengapa, melihat boneka kodok-nya, Naura malah kepikiran dengan cowok yang matanya juga bulat besar. Yang beberapa minggu lalu, mengusik hidupnya, dan akhirnya, ia melontarkan perkataan dingin padanya. Setelah ucapannya waktu itu, sudah semingguan ini Raka tak pernah datang lagi ke apartemen. Memang Naura merasakan damai. Tetapi, justru rasa damainya itu membuatnya jadi linglung, seolah kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya.
"Kalau Sunny dan Do-jin, sudah gak mungkin. Raka?" Naura menggelengkan kepala. Menolak keras keinginannya yang satu ini.
“Kalau bukan ketiganya, terus siapa lagiii," jerit Naura mulai frustrasi, sedangkan perutnya semakin mendesaknya, menyantap Jajangmyeon panas dan pedas secepatnya.
"Atau, aku minta tolong---Kak Neil!" Naura berseru saat wajah ramah Neil melintas dipikirannya. Seketika bibir plumnya mengembangkan senyuman lebar.
"Kenapa dari tadi gak kepikiran sama Kak Neil. Bukankah dia juga di Korea.” Dengan bersemangat Naura bergegas meraih smartphone di atas nakas. Memencet nomor tujuan, menelepon Neil Sutanegara. Tempat curhatnya selama ini. Bukan tanpa alasan Naura menelepon Neil. Ia ingat betul pesan tetangganya ini setiap kali mereka bertemu. Bila terjadi sesuatu padanya, cepat-cepat menghubunginya, walau itu tengah malam sekali pun.
Saat ini, bisakah meminta tolong pada pria itu? Menagih perkataannya. Meski saat ini keadaannya tidak dalam keadaan buruk. Tapi ... tetap saja, tak bisa memenuhi keinginan mengidamnya sendirian.
"Maaf, Kak. Untuk pertama kalinya aku ngerepotinmu di saat lagi hamil begini," lirih Naura sambil menunggu sambungannya diangkat Neil di seberang telepon. Selang beberapa detik, panggilannya langsung tersambung.
"Kakak.” Naura merengek layaknya bocah TK meminta sesuatu ke orang tuanya.
"Ada apa Naura?"
"Maaf, Kak. Aku bangunin Kakak, malam-malam begini."
"Nggak apa-apa. Katakan saja apa yang kau ingini, eum.”
"Masih ingat, 'kan, sama ucapan Kakak sendiri."
"Yang mana ya?"
"Itu lho, bila keadaanku sedang buruk, aku harus telepon Kakak." Naura kembali berbaring telentang di tempat tidur sambil memeluk boneka kodok-nya, seukuran tubuh bayi berumur lima bulanan.
"Oh itu ... kenapa? Apa kondisi kandunganmu sedang gak baik?" tanya Neil dengan suaranya kedengaran begitu khawatir.
"Enggak. Kandunganku baik-baik saja. Hanya saja aku lagi ngidam kepingin makan Jajangmyeon.” Naura mengelus perut buncitnya dari balik piyama-nya yang berbahan sifon. Terlihat jelas lekuk-lekuk tubuhnya dari baju transparan berwarna biru.