Sudah semingguan ini Naura menempati apartemennya sendiri. Apartemennya tidak semewah dan tidak sebesar milik Sunny, dengan satu kamar tidur, satu ruang tamu yang merangkap jadi ruang keluarga, satu kamar mandi serta dapur kecil. Sementara isi apartemennya hampir tidak ada, hanya ada sofa tunggal panjang di ruang tamu serta televisi. Lokasi apartemennya tak jauh dari lokasi apartemen Sunny berada, serta satu kompleks dengan apartemen Neil, juga berdampingan dengan rumah sakit Universitas Nasional Jeju. Bila terjadi apa-apa pada Naura dan kandungannya, ia bisa langsung ke rumah sakit tanpa menghabiskan banyak waktu diperjalanan.
Hari ini, Naura duduk santai menikmati waktu weekend sendirian, hanya berdiam diri di apartemen saja. Seharian menonton drakor sepuasnya. Mumpung ada waktu. Biasanya bila hari kerja, waktunya banyak tersita di balik sekat pembatas dinding bersama file-file bertumpuk di komputernya. Saat pulang, ia sudah kelelahan dan akhirnya tertidur hingga pagi berikutnya, lalu pagi berikutnya lagi, terus berulang hingga tiba akhir pekan kembali.
Naura mengutak-atik koleksi video-nya di laptop, mencari video yang mungkin belum ditontonnya. Tapi sepertinya, koleksi videonya sudah semua ditontonnya. Pada akhirnya Naura beralih membuka televisi. Sambil menonton acara reality show, ia memakan es krim kesukaannya. Kadang ia tergelak-gelak sendiri menertawakan bintang tamu yang dikerjai oleh para pemain tetap acara tersebut. Naura menghentikan tawanya, lalu mengecilkan volume televisi ketika mendengar bel apartemen berbunyi. Lekas membukakan pintu usai membuang sisa es krim ke kotak sampah di dekat pintu.
"Jongin?!" Naura nyaris terpekik kaget, bagai tiba-tiba melihat penampakan pelakor sang mantan kekasih. Terlalu kaget melihat siapa tamunya.
Park Jongin, warga asli Korea, kepala divisi di tempatnya bekerja. Bila dibandingkan dengan warga Korea lainnya, yang kebanyakan mempunyai kulit putih pucat. Kulit Jongin justeru mirip dengan kulit orang-orang dari Asia Tenggara. Sawo matang. Selain itu, Jongin ternyata juga fasih berbahasa Indonesia, mengingat dia pernah menetap di Indonesia selama tiga tahun. Pertama kalinya bertemu dengan Naura, pemuda inilah yang menyapanya duluan dengan memakai bahasa Indonesia. Sampai kini, mereka tetap berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa Korea, meski kenyataannya mereka tinggal di negeri Gingseng ini.
"H-hai," sapa Jongin sedikit kaku, setelah bisa meredakan rasa terkejutnya akan reaksi tak terduga Naura. Kini, seolah jadi patung lilin Angelina Jollie di Madame Tussaud Naura bergeming menatapnya.
"Eum, h-hai juga," balas Naura tak kalah kakunya, tak menyangka Jongin akan berkunjung ke apartemennya. Ia pikir Jongin takkan datang kemari lagi karena telah bosan. Mengingat hampir tiap hari, semenjak pindah ke sini Jongin selalu datang, sekalian mengantarnya pulang. Padahal ia sering sekali menolaknya, tapi tetap saja Jongin memaksa. Hingga akhirnya membiarkan saja Jongin mengantarnya pulang bekerja.
Juga Naura pikir, Jongin sudah menyerah, karena seringnya diabaikan, dalam artian mengabaikan perhatian Jongin lebih dari sekedar atasan dan bawahan terhadapnya. Ia tahu, meski Jongin tak berbicara langsung padanya, menilik dari bahasa tubuh dan sikapnya, mengisyaratkan bila Jongin menyukainya. Hal itulah yang dihindarinya sekarang ini. Ia tak ingin mempunyai hubungan spesial dengan pria mana pun. Jangankan Jongin, Raka--notabene pernah menjalin hubungan dengannya--pun sudah diwanti-wantinya untuk tak mengganggunya lagi. Dan sepertinya itu berhasil, sudah dua mingguan ini Raka tak mengusiknya lagi. Tak pernah lagi muncul di hadapannya.
"Aku bawa Jajangmyeon kesukaanmu, dan masih panas." Jongin mengangkat tote bag di tangannya. "Aku juga bawa es krim."
Mendengar kata Jajangmyeon, seketika pikiran Naura melayang ke kejadian seminggu yang lalu, ketika masih berada di apartemen Sunny. Seseorang tanpa identitas mengiriminya Jajangmyeon disaat dirinya tengah mengidam. Sampai detik ini, masih menyisakan misteri siapa pengirimnya, begitu pun dengan boneka kodok miliknya. Naura mengelus perut buncitnya. Bau sedap yang menguar dari dalam tote bag seketika mengkontaminasi hidungnya, membuat perutnya berbunyi keras. Ia tercengir lebar menahan malu. Sedangkan Jongin tergelak mendengar suara perutnya.
"Untukmu." Jongin menyodorkan tote bag-nya ke tangan Naura dengan sedikit memaksa.
"Makasih," balas Naura malu-malu, namun tetap diambilnya. "Jadi merepotkanmu," sambungnya tak enak hati. Setiap ke sini Jongin selalu membawa oleh-oleh.
"Lain kali kalau mau ke sini, enggak usah bawa apa pun, juga gak apa-apa kok." Naura berkata hati-hati, takut kalau Jongin tersinggung.
"Tak apa-apa. Habisnya aku suka." Jongin tersenyum lebar seraya mengelus tengkuknya.
"Tapi, tetap saja." Naura mengembuskan napas berat. Ia paling tak suka bila membebani seseorang. "Eung, silakan masuk," lanjutnya sambil membuka pintu lebar-lebar. Tak ingin membiarkan Jongin makin salah tingkah akan kedatangannya.
Jongin mengangguk, membuka sepatunya, lalu melenggang bebas ke arah sofa tunggal, kemudian meletakkan bawaannya ke atas meja. Tanpa menunggu pemilik apartemen berbasi basi terlebih dahulu, Jongin langsung duduk santai - mungkin karena sudah terbiasa juga datang kemari.
"Lagi asyik menonton, ya.” Pandangan Jongin beralih ke televisi yang menyala.
"Iya." Naura menjawab dari arah dapur. Membuka kulkas sembari mengetuk dagu, memperhatikan ada apa saja di dalam kulkasnya.
"Sepertinya aku ganggu."
"Enggak kok," sangkal Naura cepat sambil menutup keras pintu kulkasnya. “He he he, maaf,” sambungnya tercengir lebar.
Astaga, kasihan pintu kulkasnya, jadi pelampisan. “Tak apa-apa, kok.” Jongin ikutan tercengir lebar sembari mengusap dada.
Jujur. Sebenarnya Naura memang tak nyaman hanya berduaan saja dengan Jongin, seolah ada sepasang mata tajam dari arah jauh yang mengawasinya, bersiap menerkam punggungnya bila macam-macam bersama Jongin. Selain itu, ia memang berusaha menjaga jarak dengan pemuda ini.
"Biasalah kalau weekend begini. Kerjaan aku ya nonton tv dan bersantai." Naura mengedikkan bahu. "Mau minum apa?" katanya dengan pandangan lurus ke punggung Jongin yang membelakanginya di balik sofa panjangnya.
"Tak usah repot-repot."
"Ih, enggaklah. Kamu saja sudah repot-repot bawain Jajangmyeon-nya, masa aku gak bikin apa-apa untukmu." Seketika Naura jadi kepikiran dengan pengirim Jajangmyeon-nya waktu itu, pada siapa ia akan berterima kasih.
"Ya sudah." Jongin mengangkat bahu. "Aku minta segelas kopi hitam saja. Boleh?"
"Hum, sangat boleh."
***