Entah berapa lama Naura berdiri mematung tak berkedip menatap rupa pria di depannya. Seolah wajah Raka lebih menarik dari double es krim yang sering dimakannya diam-diam tiap malam. Naura menelan ludah.
Tak salah dengarkah ia tadi?
Raka ingin bertanggung jawab padanya.
Tapi soal apa?
Apa mungkin soal kehamilannya?
Tetapi ... ia tidak pernah memberitahukan soal kehamilannya pada Raka. Entah juga bila Raka tahu dari Sunny, Do-jin, atau mungkin dari Neil? Astaga! Seharusya ia memperingatkan sebelumnya pada ketiga orang tersebut untuk tak berbicara ember pada Raka. Dan sepertinya sudah terlambat. Naura menarik napas dalam-dalam, dan diembuskan perlahan-lahan. Mencoba tenang, tak ingin terpengaruh akan ucapan Raka. Siapa tahu maksud ucapan Raka bukan mengarah soal kehamilannya.
"Bertanggung jawab?" Dahi Naura berkerut dalam, seolah memang tak mengerti akan ucapan Raka. Diam-diam Naura menelan ludah melihat Raka tersenyum miring padanya.
Raka bersidekap, menatap tajam Naura yang seakan menyusut beberapa centi di depannya. "Kau seperti buku yang terbuka, Naura."
Debar di dada Naura meningkat tajam mendengar namanya keluar dari belah bibir Raka. Setiap namanya disebut oleh Raka, ada perasaan berbeda yang tak bisa dijabarkannya. Jantungnya selalu berdegup kencang. Tak pernah berubah semenjak dari dulu. Berbeda bila yang memanggilnya orang lain. Ia tampak biasa saja.
"Meski sudah dua tahun kita tak menjalin hubungan, aku masih hafal semua sifatmu."
Untuk kesekian kalinya Naura menelan ludah, kali ini tak bisa mengelak lagi. Akan tetapi demi gengsi di depan pria ini, Naura tersenyum tipis, seolah memang tak tahu.
"Oh, ya? Aku memang tak mengerti ucapanmu. Sepertinya kau butuh minum?" ucap Naura menyunggingkan senyuman meledek, kembali memperhatikan penampilan berantakan Raka. Raka mengangkat sebelah alisnya, kembali tersenyum miring. Lagi-lagi Naura menelan ludah. Terprovokasi akan senyuman satir Raka. Ia salah berucap. Tak seharusnya memancing Raka. Ia mengenal salah satu sifat Raka, paling tak suka diintimidasi. Maka pria ini akan menyerang balik tiga kali lipat mengintimidasi lawannya.
"Kalau begitu biarkan aku masuk, aku ingin minum langsung ke dapurmu."
See, Naura menghela. Menyesal telah melontarkan kata-kata sarkas pada Raka. Pria ini malah membuatnya jadi nyata.
"Hn! Maksudku bukan begitu." Naura mengusak poninya menjadi berantakan.
"Bukan begitu bagaimana?" Raka mulai mengintimidasi. Pandangannya tepat menusuk ke iris cokelat bening Naura.
"Yaaah, begitulah. Aku hanya meledekmu saja, tahu." Naura menggembungkan pipi, sudut matanya melirik pada lorong apartemen, sepi bagai keduanya berada di dunia lain.
"Meledekku saja?"
Naura mengangkat bahu. Tak bisa lagi mengelak.
Dasar cowok idealis, maki Naura kesal. Ingin rasanya mengumpat keras tepat di depan wajah kusut Raka, jadi cowok jangan terlalu memegang teguh prinsipnya yang mungkin saja itu salah. Contoh kecilnya saja, Raka bersikukuh meminta mereka putus karena Naura tak bisa memberinya keturunan. Padahal banyak jalan untuk memperoleh keturunan di zaman serba canggih ini. Seperti ia misalnya, tanpa menikah pun masih bisa punya anak dengan jalan inseminasi. So, apa yang seharusnya mereka takutkan. Tetapi itu dulu, sekarang Naura sudah tak peduli lagi.
"Oke, lupakan masalah itu. Sekarang biarkan aku masuk dulu."
Naura menengadah, kembali menatap mata bulat Raka.
"Tumben sopan," sindirnya, biasanya Raka langsung menyerobot masuk tanpa meminta izin terlebih dahulu padanya.
"Kenapa kalau aku meminta secara sopan? Apa kau tetap tak membolehkanku masuk? Bagaimana dengan pria berkulit sawo matang tadi? Pria itu bebas keluar masuk apartemenmu." Suara Raka meninggi.
Raka mengepalkan tinjunya kuat-kuat. Bila diukur dengan nilai, angka kesabarannya dia beri nilai enam. Coba ketika bertemu di lift tadi, ia hajar saja Jongin habis-habisan sampai babak belur, sampai tak bisa berjalan selama sebulan dan tak bisa mengganggu Naura lagi. Tak peduli bila harus berurusan dengan pihak berwajib karena telah memukuli orang. Tak seharusnya ia mempercayai Jongin seratus persen. Mempercayakan Naura pada Jongin, menjaga Naura untuknya. Sialnya. Jongin justru menikamnya dari belakang. Ternyata juga menaruh hati pada Naura. Sahabat macam apa itu.
Masih segar dalam pikirannya kejadian tadi pagi. Jongin datang ke apartemen Hyun-sik, di mana selama dua mingguan ini Raka bersembunyi mengawasi Naura dari kejauhan. Dengan percaya dirinya. Jongin mengatakan agar tak usah lagi mempercayakan Naura untuk menjaganya. Sebab, mulai sekarang dia sendiri-lah yang menjaga dan bertanggung jawab pada Naura, bukan atas nama Raka.
Sempat Raka memperingatkan Jongin agar tak mengambil yang telah menjadi miliknya. Namun sepertinya Jongin mengabaikan peringatannya. Meski Jongin belum memberi tahukannya, Raka merasakan kalau Jongin sudah berbicara pada Naura, siap bertanggung jawab pada sosok manis ini. Maka dari itu, hari ini ia pun datang ke Naura. Tak ingin kalah dari Jongin. Sudah cukup bermain petak umpet. Terus-terusan bersembunyi bagai penjahat yang buron dari polisi.
"Maksudmu pria itu Jongin? Bagaimana kau bisa tahu Jongin berada di apartemenku?" Naura terbeliak. Terkejut bukan main. Suara cemprengnya seketika membuyarkan lamunan Raka tentang penikung-nya.