Berulang kali Neil mengerjap mendengar ucapan tetangga manis-nya barusan. Seolah sedang mendengarkan pertanyaan dari seorang pembunuh bayaran yang tak ada lagi pertanyaan ulangnya. Kenapa jadi jungkir balik begini? Neil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Astaga, kebaikan apa hamba lakukan di masa lalu hingga Kau anugerahkan dua sahabat yang sangat membahagiakan hati. Neil mengusap-usap dadanya berkali-kali menatap penuh heran pada Naura di depannya seraya mengingat wajah sahabat satunya yang juga tak kalah menjengkelkannya. Menghela sekilas, lalu menatap lekat iris bening di depannya, melotot bagai dirinya adalah tersangka yang harus segera diadili sesegera mungkin.
“Naura, saat dalam perjalanan ke sini kepalamu enggak kejedot tiang listrik, ‘kan? Apa perlu Kakak periksa sekarang?” tanya Neil menatap lekat kening Naura di balik poninya yang menjuntai. “Siapa tahu ingatanmu separuhnya masih menempel di tiang listrik,” sambungnya menahan tawa geli.
Naura mengerucutkan bibir plumnya. “Ih Kakak. Aku masih ingat semuanya.”
“Nah, itu dia.” Neil menjentikkan jarinya, seolah mendapatkan ide yang sangat briliant.
“Apaan?”
“Kan sudah Kakak peringatkan sebelumnya.”
“Peringatkan apa?”
“Waktu itu sudah Kakak bilang sama kamu, mau tahu enggak siapa pendonornya.”
“Hm?”
“Dan kamu malah tetap ngotot enggak mau tahu nama pendonornya.”
Naura tercengir lebar dan garuk-garuk kepala.
“Kau ini, Naura.” Neil geleng-geleng kepala. Pandangannya segera menerawang ke atas. Mungkin keduanya sudah ditakdirkan untuk bersama.
***
[Jakarta, tiga bulan yang lalu ....]
Sinar mentari telah lama naik di atas kepala, seakan menantang makhluk hidup di bawahnya untuk beradu kekuatan. Seberkas cahayanya, diam-diam merangsek masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi dengan tumpukan berkas serta obat-obatan. Pelan tapi pasti, sinarnya mulai menaungi pemuda yang duduk termangu di kursi kerjanya. Memberikan kehangatan nyata bagai pelukan hangat sang kekasih.
Neil bertopang dagu. Detik demi detik dilewatinya hanya dengan berdiam diri. Memandang kosong pada layar komputer di depannya. Seolah tak ada yang mampu menarik perhatiannya selain dekstop background komputer-nya, berkedip-kedip di depannya, menampilkan foto sang istri bersama malaikat kecil mereka - berusia sepuluh bulan. Keduanya tersenyum bahagia. Baru dua hari yang lalu dia mengabadikannya, dan langsung menghuni komputernya.
Neil mendesah pendek. Merebahkan punggung ke sandaran kursi, lalu memutar-mutarnya seraya berpikir keras. Sudah seminggu ini pikirannya bercabang. Antara keluarga kecilnya dan masalah yang dibebankan oleh tetangga manisnya.
Siapa yang bisa kupercayai soal masalah ini ... Neil mengembuskan napas berat berkali-kali sambil mengacak rambutnya. Kemudian mengetuk-ngetuk meja kerjanya seraya menerawang jauh. Mencoba berpikir keras.
"Carikan aku sperma yang kuat dan tangguh. Kalau bisa dari bibit unggul ..."
Permintaan Naura terus berputar di kepalanya. Neil mengelus permukaan dagunya yang terawat rapi.
"Sperma yang kuat dan tangguh, ya, juga berbibit unggul," gumamnya mengulang kembali ucapan Naura.
"Astaga, ke mana aku harus mencari pendonornya, yang sesuai dengan kriteria Naura, yang pastinya takkan menimbulkan masalah untuk Naura dikemudian hari." Neil mengacak kembali rambutnya hingga berantakan bagai orang gila di tengah pasar. Ia mulai frustrasi, memikirkan pendonor yang cocok untuk Naura. Ia mulai mengabsen satu persatu teman dekatnya, serta siapa saja pria yang dekat dengan Naura, yang pernah berhubungan dengannya. Sedetik kemudian sudut bibirnya tertarik ke atas. Senyum merekah terbit di bibirnya. Setelah bergelut dengan waktu dan pikiran. Akhirnya ia menemukan satu pendonor yang cocok dengan kriteria Naura.
"Hanya dia yang bisa meluruskan masalah yang rumit ini," putusnya. Tanpa membiarkan waktu terus berjalan, segera meraih smartphone-nya.
***
Kelopak mata itu masih setia terpejam erat, menutupi mata elang di baliknya. Dering telepon pintar yang mengaum memecah kesunyian di presidential suite room di salah satu hotel berbintang di Jakarta, tak membuat pria di balik selimut tebal itu bergeming. Beranjak bangun dan meninggalkan kehangatan dari selimut tebalnya hanya untuk menjawab auman tersebut. Ia tebak, palingan juga dari wanita yang sangat dicintai sekaligus dihormatinya lebih dari apa pun, wanita yang layak mendapatkan tempat paling spesial di hatinya, wanita yang paling berjasa melahirkannya ke dunia, ibunya, Catherine Gayatri, yang menanyakan di mana dirinya berada saat ini.
Ayolah. Pria yang bernama lengkap Raka Earnest Forrester ini masih sangat lelah setelah melakukan perjalanan panjang dari kota Seattle ke kota Jakarta. Menyebrangi benua antar benua, dari pulau ke pulau. Menembus beribu mil jaraknya, mengangkasa di atas awan, menghabiskan waktu selama kurang lebih 13 jam. Lumayan, membuat pantatnya panas dan mungkin bisa menghasilkan suhu yang cukup untuk menetaskan beberapa butir telur ayam.
Setelah sampai di ibu kota Indonesia yang semrawut ini, ia pun tak lekas pulang ke rumah orang tuanya, justeru tidur di hotel milik keluarganya. Raka tahu, Cathie (panggilan akrab ibunya) rindu padanya, sudah lebih dari dua tahun mereka tak bertemu secara langsung di Jakarta (hanya Cathie-lah yang terbang langsung menuju kediamannya berada) setelah dirinya memutuskan menetap di kota Seattle, mencari ketenangkan batin. Menyembuhkan hatinya yang telah retak, menyatukan kembali serpihan-serpihan luka hatinya yang berserak di semua sudut kota Seattle. Namun, tetap saja tak mampu menemukan puzzle yang hilang itu di sana. Sebab, kunci puzzle hatinya berada di sini, di kota Jakarta.
Salahnya memutuskan secara sepihak sang mantan kekasih. Meninggalkan sosok manisnya menangis tersedu-sedu sendirian di malam yang dingin, memberikan luka batin mendalam dengan menancapkan kata-kata yang teramat menyakitkan. Raka tahu ia salah, tetapi, ini semua bukan sepenuhnya kesalahannya .... Mungkin, karena hal itu juga-lah ia enggan untuk menginjakkan kaki ke rumah orang tuanya, malas untuk bertemu dengan pria yang memberikan darah campuran Inggris ini padanya. Terus mendesaknya, memberikan keturunan untuk keberlangsungan keluarga Forrester di dunia fana ini.
Raka mengembuskan napas dalam-dalam. Memijit pelipisnya yang berdenyut. Sepertinya, suara auman dari benda mati persegi panjang itu takkan berhenti mengoceh sampai ia mengangkatnya. Dengan menahan kuap, malas-malasan Raka meraba samping tempat tidurnya, mencari keberadaan benda paling penting baginya setelah ibunya. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Raka segera menggeser tombol hijau.
"Ya, Mom," sapanya sambil membuka lebar-lebar mulutnya, mengeluarkan hawa berbau khas tidur, tak mampu ditahan kuapnya lebih lama lagi.
"Hai, Bro."