"Kapan kalian akan menikah?" Sebait kalimat terlontar dari belah bibir sang kepala keluarga, Andrew Aksa Forrester, akhirnya memecah keheningan di ruang makan super luas ini - setelah lima menit mereka habiskan makan dengan tenang. Kalimat pertanyaan dari Andrew mampu menohok Raka sampai ke tulang-tulangnya, membuatnya tak bernafsu lagi menyantap hidangannya. Dua hari ini pikirannya dibuat bimbang akan keputusannya setelah Neil mendadak mengontaknya dan meminta hal aneh padanya. Tak serta merta ia menjawab permintaan Neil. Ia masih ragu. Setidaknya ia harus menyelesaikan masalah lainnya terlebih dahulu.
“Raka?”
“Iya, Daddy.” Raka meletakkan sendok garpunya ke atas piring - masih penuh dengan berbagai macam menu.
"Aku belum memikirkannya sampai ke sana, Dad," terangnya dengan wajah masam.
"Belum? Kalian sudah bertunangan selama dua tahun. Dan kau masih belum memberi kepastian pada Daddy?"
"Aku punya masalah yang belum kuselesaikan sampai kini," kilahnya mengelak.
"Masalah apa sampai kau menundanya selama itu?"
Masalah hati, jawab Raka cemberut, namun tak dilontarkannya secara langsung. Cukup dia dan Tuhan yang tahu. Sebab, ayahnya tak mau tahu ia punya masalah atau tidak. Apakah hatinya terluka apa tidak. Ayahnya hanya peduli keberlangsungan perusahaan keluarga hingga seratus tahun ke depannya. Pernah ia menolak keinginan ayahnya, tetapi akhirnya, ibunya yang jadi tameng untuk ayahnya menekan dirinya. Ia sayang ibunya lebih dari apa pun. Ia tak ingin ibunya terluka, menangisinya karena tak akur pada ayahnya. Akhirnya, ia tunduk pada kediktatoran ayahnya demi ibunya. Lagi pula, ia anak tunggal hingga semakin menyudutkan posisinya, dan berakhir memilih mengakhiri hubungannya bersama sang kekasih dan bertunangan dengan perempuan lainnya. Itu semua karena embel-embel demi masa depan. Demi penerus keluarga.
"Cepatlah selesaikan masalahmu itu, umurmu sudah 27 tahun, dan Daddy juga semakin tua, Daddy ingin melihat penerus keluarga Forrester berlangsung sebelum Daddy menutup mata selamanya."
Raka mengepalkan tangan di bawah meja mendengar penuturan ayahnya. Selalu mempermasalahkan penerus keluarga. Hal itulah yang membuat hatinya lemah dan tak punya pilihan lain. Penerus keluarga? Raka mengernyit. Bila ia memberikan penerus keluarga sekarang, apakah ayahnya takkan memaksanya lagi untuk menikahi wanita yang bukan pilihan hatinya itu? Segaris senyuman penuh makna terbit di belah bibir sensualnya, ketika sebuah ide brilian terlintas di benaknya. "Daddy ingin aku memberikan penerus keluarga, kan?"
"Tentu saja."
"Kalau aku memberikannya pada Daddy sekarang ...” Raka mengelus dagunya sembari menyeringai. “Apakah Daddy akan membiarkanku bebas?"
"Bebas? Maksudmu?"
"Daddy akan tahu nanti," jawabnya bermain kata. Berdiri dari duduknya setelah meneguk habis minuman Latte-nya sampai tak bersisa. Berjalan santai meninggalkan ruang makan. Mengabaikan teriakan protes Cathie soal sisa makan siangnya yang masih banyak.
"Tunggu!" sergah Andrew, menatap tajam punggung Raka.
"Itu artinya kau memutuskan akan menikah secepatnya?" lanjut Andrew, setelah Raka memutar tubuh menghadapnya kembali.
"Tentu saja," jawabnya yakin. Seringaian aneh lagi-lagi menari di belah bibirnya.
"Good boy. Seperti yang Daddy harapkan padamu." Andrew tersenyum senang, sedangkan Cathie hanya diam memandang penuh tanya pada punggung putranya. Bingung akan ucapan Raka. Ia mengenal putranya lebih dari siapa pun. Raka begitu saja memutuskan menikah secepatnya, segera memberikan mereka keturunan, setelah sekian lama membangkang, mengulur-ulur waktu untuk menikahi tunangannya, bahkan lari keluar negeri? Sungguh tak bisa dipercaya.
***
Neil mengacak rambutnya. Sudah dua hari berlalu semenjak mengirimkan foto Naura ke Raka. Tak ada respon sama sekali darinya. Apakah setuju atau tidak. Mungkinkah Raka tak menyetujuinya? Mungkinkah Raka sudah tak ingin berhubungan lagi dengan mantan kekasihnya itu? Dan kemungkinan-kemungkinan lainnya yang membuat Neil bingung setengah mati, hingga menghancurkan harapan satu-satunya pada sahabatnya ini.
Haruskah menelepon Raka, menanyakannya langsung? Tidakkah dirinya terlihat seperti teman yang tak tahu diri? Datang di saat ada maunya saja. Ke mana saja ia selama ini? Bahkan ketika Raka menetap di kota Seattle, Amerika Serikat, pun tak tahu sama sekali. Sahabat macam apa dia ini.
Neil mengerang frustrasi. Mengempaskan tubuh atletisnya ke kursi taman rumah sakit. Mengabaikan puluhan mata yang memandangnya ingin tahu. Barusan saja selesai melakukan operasi pada pasiennya, dan ia butuh istirahat sejenak. Tetapi, bukannya mendapatkan rileks pada otaknya, justeru kepalanya terasa makin berat dan runyam, setelah memikirkan Raka dan sperma supernya itu. Ia berhenti mendesah, seiring dering smartphone-nya bernyanyi memanggilnya. Dengan lesu melihat siapa yang memanggilnya. Detik itu pula perasaan lesunya menguap entah ke mana, tergerus oleh segaris senyuman menari-nari indah di belah bibirnya. Raka meneleponnya. Seketika harap yang telah lenyap itu, kembali tumbuh, bagai bunga-bunga yang bermekaran indah di musim semi.
Neil berdeham sejenak. Mengatur deru napasnya yang naik, menekan gemuruh di dada, meski yang meneleponnya adalah sahabatnya, bukan sang istri yang selalu berhasil membuat jantungnya berdetak kencang. Tapi ini berbeda, ini Raka. Pria yang memberinya harapan tinggi. Walau sekarang harapannya berbanding lima puluh - lima puluh.
"So, kau sudah memutuskannya, Bro?" Neil bertanya langsung tanpa embel-embel say hi terlebih dahulu.
"Sebegitunya kau membutuhkan spermaku, Neil?"
Neil mengerang. "Ayolah, aku gak punya waktu untuk bermain tebak-tebakan."
"Santai, Neil."
Neil menarik napas dalam. "Jadi?"
"Aku setuju."
Lama Neil terdiam. Seperti tidak yakin dengan pendengarannya sendiri.
"Hallo, Neil?"
"Ulangi lagi ucapanmu, Bro," tegasnya.
"Aku setuju, dokter Neil."
Neil tersenyum lega. Akhirnya, bisa tidur nyenyak malam ini. Permasalahan yang rumit ini akhirnya terpecahkan. Tinggal mengabari tetangga manisnya itu setelah ini.