Geeez yang benar saja ... Berubah pikiran? Siap dinikahinya? Naura mendesis bak ular piton, melotot tajam pada Raka yang tiada hentinya menyunggingkan senyuman lebar penuh percaya diri, seolah apa yang ada dalam pikiran Naura memang sejalan dengan pikirannya.
Naura memutar bola mata. Asal tahu saja. Ia datang ke sini bukan untuk dinikahi oleh Raka. Melainkan untuk menyelesaikan masalah di antara mereka berdua, sangat perlu diselesaikan agar tidak ada lagi permasalahan di masa depannya. "Aku datang ke sini bukan untuk memintamu menikahiku. Aku dat---"
"Duduklah dulu!" Raka menepuk sofa panjang di sampingnya. Sengaja memotong ucapan Naura.
Naura menggeram samar, matanya menyipit tajam. "Enggak usah," ketusnya, seolah Raka adalah musuh bebuyutan nenek moyangnya.
Raka menghela napas pendek. Pandangannya menajam memperhatikan wajah merah Naura karena emosi. "Kau mungkin lelah. Duduklah!" ucapnya lagi.
"Kubilang enggak usah, ya gak usah. Kau dengar!" Naura memekik kesal, nyaris saja melempar sepatu plat shoes-nya ke wajah tampan Raka. Tidak bisa lagi ia membendung amarahnya yang sedari awal memang telah menumpuk semenjak mendengar penjelasan Neil di rumah sakit tadi. Makin membuatnya kesal, Raka selalu mengabaikan ucapannya. Sengaja memancing emosinya naik.
Mendengar pekikan Naura, Raka diam sebentar, lalu menarik napas dalam-dalam.
"Aku mendengarnya, Naura. Tapi, tak baik berbicara sambil berdiri. Kau sedang hamil. Lagian, kau seperti debt collector saja. Jujur. Aku sedikit tersinggung dengan caramu bertamu seperti ini," jelasnya dengan nada suara yang begitu serius. Namun sebenarnya, hanya untuk menekan Naura agar menuruti ucapannya.
Pada akhirnya Naura menuruti ucapan Raka dengan alasan mempercepat ia pergi dari tempat ini. Terlebih tak ingin memberikan kesempatan Raka mengulur-ngulur waktu lagi.
“Nah, begitu dong, sama-sama enak jadinya.” Raka tersenyum senang melihat Naura akhirnya duduk. "Tunggulah sebentar di sini," lanjutnya segera berdiri.
Belum sempat Naura mencegah, Raka pergi entah ke mana, entah mengambil apa, Naura tidak tahu. "Sudahlah. Ini rumah dia juga," gumamnya mengedikkan bahu.
Asal jangan saja berusaha menghindariku. Kubunuh dia sekarang juga. Grrr ... Naura mengepalkan tangan dengan dada kembang kempis menahan amarah.
Sementara Raka menghilang entah ke mana di rumah besar ini. Sambil menunggu, seolah mandor yang sedang mengawasi pekerjaan bawahannya, pandangan Naura begitu tajam menelisik rumah ini. Satu kata untuk menggambarkan suasananya. Sepi. Tak ada satu orang pun berkeliaran di rumah besar ini. Assisten rumah tangga pun tidak kelihatan semenjak melangkahkan kaki pertama kali ke rumah ini. Hanya ada empat orang security ketika hendak memasukinya tadi. Itu pun harus punya izin terlebih dahulu dari pemilik rumah bila ingin masuk.
Masa sih, gak ada satu pun orang di sini. Misalnya saja pacarnya. Atau mungkin tunangannya? Naura bertanya-tanya penasaran dalam hati sambil celingak-celinguk memperhatikan sudut ruangan, bila saja ada tanda-tanda wanita tinggal di sini. Rambut atau pun parfume wanita, misalnya.
"Kau takkan menemukan satu pun wanita di sini, Naura."
Astaga! Jantungku ... Naura terkesiap kaget mendengar suara berat berdengung di telinganya. Ia memegangi dadanya yang berdebar kuat bagai barusan saja mengikuti lomba lari marathon olimpiade, hanya saat ketika berbalik, mendapati Raka telah berdiri di belakangnya, membawa segelas cokelat panas - minuman kesukaannya di saat musim dingin begini. Ia menelan ludah ketika wangi khas cokelat menembus indera penciumannya.
Kapan dia ada di belakangku? Perasaan tadi aku gak mendengar langkah kakinya. Kening Naura berkernyit dalam, memperhatikan Raka meletakkan cokelat panas ke atas meja dan mendorong ke arahnya.
"Minumlah!" ujar Raka dengan nada memerintah mutlak bagaikan seorang Raja.
Naura bergeming, tak serta merta menuruti perintah Raka. Pandangannya tetap berputar di ruangan ini. Tak percaya begitu saja ucapannya.
"Sudah kukatakan sebelumnya, kau takkan menemukan satu pun wanita di sini," ulang Raka setelah membaca ekspresi di wajah Naura.
"Bohong!" bantah Naura menyipitkan mata. "Termasuk assisten rumah tanggamu? Semuanya laki-laki begitu?"
"Yup!"
"Enggak mungkin," sangkal Naura berdecih keras.
"Kenapa tidak mungkin? Aku tidak pernah membedakan gender soal pekerjaan rumah tangga, mencuci, memasak, atau pun membersihkan rumah. Bila kinerja mereka bagus, kenapa tidak?"
Naura mengedikkan bahu. Tak bisa lagi menyangkal ucapan Raka.