Dear, My Baby

Renny Ariesya
Chapter #16

16| Black Pork Street

Naura membanting kasar pintu apartemen. Tanpa menghiraukan perutnya lapar, segera merebahkan tubuh ke tempat tidur. Dibenamkan wajahnya ke bantal. Seolah membenamkan semua masa lalu yang menyakitkan ke dasar relung hatinya yang terdalam. Menguburnya tanpa ada jejak-jejak yang menyakitkan lagi. Rasa sesak di dadanya perlahan terefleksikan lewat isakan dari celah bibir plumnya, teredam lewat bantal. Karena keadaan kamarnya yang sunyi senyap, suara isakannya begitu jelas terdengar memenuhi ruangan.

Ia menjerit tertahan dalam dekapan bantalnya. Menangis sepuasnya. Membiarkan air matanya tumpah ruah bagai sungai yang mengalir lancar ke muaranya. Karena terlalu banyak matanya mengeluarkan cairan bening. Menguras habis semuanya. Hingga kelenjar matanya tak mampu memproduksi air mata lagi. Naura pun kelelahan, sampai akhirnya tertidur.

Entah berapa lama ia tertidur. Dering smartphone yang memekakkan telinga, memecah sunyi di kamarnya yang temaram, berhasil membuka paksa matanya yang bengkak dan terjaga sepenuhnya. Naura menghela. Menghapus jejak aliran cairan bening di sudut matanya yang sayu. Lalu berdeham kecil, menetralkan suaranya yang parau, khas bangun tidur bercampur habis menangis. Sempat melirik pada jam di layar smartphone-nya, jam delapan malam sembari melihat siapa yang meneleponnya. Neil.

Tadi, ketika dalam perjalanan pulang ke apartemennya, usai pulang dari kediaman Raka. Neil terus meneleponnya. Namun tak pernah digubrisnya. Hingga akhirnya berhenti sendiri sampai tiba di apartemen lalu ketiduran.

"Hallo, Kak? Ada apa?" tanyanya langsung.

"Naura? Kau baik-baik saja?" Terdengar suara cemas Neil di seberang telepon begitu nyaring di indera pendengaran gadis berambut almond sepinggang ini.

Naura menggigit bibir, lalu mengembuskan napas pendek seraya mengusap wajahnya yang bengkak. "Eung, ya, aku baik-baik saja."

"Kau menangis?"

Naura terdiam cukup lama. Hingga akhirnya, kembali isakan kecil lolos dari bibirnya.

"Maafkan, Kakak, Naura. Enggak seharusnya Kakak bekerja sama dengan Raka." Suara berat Neil mengalun di telinganya. Tampak dari suaranya, Neil menyesali perbuatannya.

"Gak apa-apa, kok, Kak. Naura mengerti. Ini juga kesalahanku." Naura terisak sembari menyeka air mata dengan punggung tangannya. "Sedari awal, akulah yang menyuruh Kakak gak usah memberi tahu siapa pendonornya."

Lama keduanya terdiam. Hingga Neil di seberang telepon mengembuskan napas berat.

"Kau mau Kakak datang ke apartemenmu?" tawar Neil. "Kebetulan jadwal Kakak lagi kosong malam ini."

Naura menggelengkan kepala, meski Neil tidak melihatnya secara langsung. "Gak usah, Kak. Gak usah repot-repot."

"Sama sekali Kakak gak repot, Naura. Bagaimana kalau kita jalan-jalan di sekitar kompleks apartemen?" tawar Neil lagi.

"Makasih saja sama ajakannya, Kak. Tapi benaran, Kak. Gak usah. Aku lagi kepingin sendirian saja saat ini."

Lama tak ada jawaban dari seberang telepon. Entah apa yang dipikirkan Neil di sana. Hanya deru napasnya yang terdengar lantang di telinga Naura.

"Kakak?" panggilnya, memastikan Neil masih terhubung dengannya.

"Ya?---Baiklah, Kakak mengerti. Bila kau butuh apa-apa, segera telepon Kakak, oke?"

"Oke."

Selamat malam, Naura. Satu lagi, jangan menangis lagi.

“Yup. Takkan menangis lagi,” jawab Naura sedikit lesu. Terdengar bunyi beep panjang pertanda Neil memutuskan sambungannya. Ia menarik napas panjang sembari meletakkan kembali smarthpone di sampingnya. Mengelus perutnya. Baru sadar Baby-nya belum dikasih makan apa pun.

"Oke, Baby. Hari ini kita jalan-jalan ke Black Pork Street. Kita lupakan semua masalah malam ini." Naura menepuk perut buncitnya setelah berdamai dengan hatinya yang sakit. Toh, tak ada lagi yang layak ditangisinya. Memasang mantel musim dinginnya, melangkah riang menuju pintu.

"Kita makan di sana, Baby. Kita sikat daging BBQ sepuasnya. Black Pork BBQ we're coming, yuhuuu." Naura berseru gembira, seolah memang tidak pernah memiliki masalah dalam hidupnya semenjak dilahirkan ke dunia ini.

***

"Astaga!!" Naura tersentak kaget ketika membuka pintu apartemen. Nyaris saja jatuh tersungkur saking kagetnya melihat sosok tiba-tiba Raka. Berdiri menyandarkan tubuh atletisnya ke dinding dengan kepala menengadah ke atas. Menerawang. Entah ada apa saja isi dalam kepalanya saat ini.

Lihat selengkapnya