Untuk kedua kalinya, ketika Naura membuka pintu pagi ini saat ingin pergi bekerja dirinya dikejutkan dengan Raka yang duduk memeluk lutut. Ia mengerutkan dahi memperhatikan Raka di samping pintunya. Sepertinya tertidur? Dilihat dari penampilannya yang tetap sama seperti semalam, sepertinya Raka tidak pulang semalaman.
Astaga. Ngapain dia tidur di sini? Mata Naura tak berkedip memperhatikan Raka dengan matanya yang terpejam. Sama sekali tidak menyadari kehadirannya.
“Ra---” Naura menelan kembali kata-katanya. Mengelus batang hidungnya.
Ah, masa bodoh. Mau tidur, kek. Mau guling-guling, kek. Terserah. Memang gue pikirin, huh. Dia bukan siapa-siapa lagi bagi gue. Naura mengedikkan bahu. Melangkah santai meninggalkan Raka yang tetap meringkuk di belakangnya. Baru beberapa kali melangkah, tiba-tiba memutuskan berhenti. Menghela napas sekilas, memutar kembali tubuhnya dengan ekspresi cemberut. Sepertinya, pernyataan masa bodoh-nya itu hanya bertahan beberapa detik saja. Dengan langkah lebar-lebar Naura menghampiri Raka.
"Kodok sawah, bangun!" Naura menendang tungkai Raka yang tertekuk. Dengan sabar menunggunya menggeliat sebentar.
Raka mengernyit memperhatikan sekitarnya. Otaknya mencerna di mana dirinya berada. Sedetik kemudian mulai mengingat semuanya. Semalam memang sengaja berada di sini, dan tanpa disadarinya justeru ketiduran. Setelah mengantar Naura sampai ke depan pintu apartemennya dan memastikannya benar-benar masuk, barulah dia memutar arah. Saat itulah, ketika hendak melangkah ia tidak sengaja melihat siluet Jongin yang bersembunyi. Tentu saja Raka tahu alasan pria berkulit eksotis itu. Ke mana lagi kalau bukan bertamu ke apartemen Naura malam-malam begini. Itu sebabnya dia sengaja menginap di depan pintu apartemen Naura, untuk menghalangi niat Jongin bertamu. Takkan ia biarkan Jongin kembali menusuknya dari belakang.
"Naura?" Raka tercengir lebar menatap Naura yang berkacak pinggang dengan mata melotot, berdiri menjulang di depannya. Ia berdiri sembari menyugar rambutnya yang sedikit berantakan.
"Kalau mau tidur jangan di sini. Nanti kamu dikira gembel." Usai berkata ketus, Naura memutar tubuhnya. Berjalan menuju lift.
"Kau mengkhawatirkanku?" Raka tersenyum lebar. Melangkah cepat menyamai langkah Naura. Memejamkan mata sejenak menikmati aroma parfume vanilla yang menguar dari tubuh Naura. Seketika membuat otaknya rileks.
"Astaga. Pagi-pagi begini kamu sudah menggigau," sindir Naura dengan bibir tersenyum miring mengejek.
"Mau kerja?" tanya Raka, tak menggubris sindiran Naura.
“Iyalah. Masa ke WC,” sarkas Naura sembari memutar bola mata. Raut wajahnya tampak jengkel.
“Biar kuantar.”
“Nggak usah,” tolak Naura. Raka hanya mengedikkan bahu. Tidak berapa lama pintu lift terbuka. Naura melangkah diikuti Raka di belakangnya. Sama seperti semalam, Naura dan Raka terjebak di dalam lift bersama pasangan kekasih yang sedang bercumbu di belakang mereka.
Astaga, kenapa sih manusia sekarang enggak ada malu-malunya sedikit. Cari kamar kek, apa kek. Errr ... benar-benar menjengkelkan deh. Naura mencebik, bersungut-sungut kesal dalam hati sembari menunduk menatap ujung sepatu pansusnya, menyembunyikan wajahnya yang memerah sempurna. Terlebih ketika telinganya mendengar suara kecapan-kecapan dari pasangan di belakangnya. Ekor matanya melirik Raka di sampingnya. Berbeda dengannya, Raka tampak biasa saja, bahkan ekspresi wajahnya tetap datar sembari menyilangkan kedua tangan di dada.
Astaga! Kuatkan imanku. Naura mengelus dada. Sesekali melirik pada pasangan kekasih yang berciuman hot lewat pantulan kaca. Seketika Naura menelan air liur. Entah kenapa ia jadi makin terangsang. Hormonnya kembali naik.
Ya, ampun. Apa kali ini gue bisa menahannya. Anjir. Benar-benar sialan. Sangat enggak enak kejebak kek begini. Naura terus saja mendumel dalam hati. Kesal melihat adegan di belakangnya. Karena adegan itu ia jadi uring-uringan. Tak masalah bila dirinya punya pasangan. Langsung saja minta ML. Nah, kalau dia? Naura mencebik dengan wajah merah padam. Tanpa disadarinya, tingkah lakunya diperhatikan lekat oleh mata elang Raka di sampingnya. Raka menyenggol ringan lengannya.
"Apa?" Naura melotot tajam. Tergambar jelas mode moodnya 'jangan diganggu kalau masih punya nyawa cadangan' di wajah manisnya. Atau sebenarnya hanyalah kamuflase belaka, menutupi dirinya yang dalam keadaan terangsang.
Raka mengulum senyum geli. Sekali lagi melirik pada pasangan hot di belakangnya. Bila saja mata Naura jeli, maka bisa melihat adam aplenya naik turun tak kentara di balik ekpresi wajah datarnya. Ikut terangsang.
"Jujur saja padaku, Na. Kau juga ingin berciuman seperti itu. Iya, kan," bisik Raka dengan menaik turunkan sebelah alisnya. Entah sudah berapa kali, semenjak bertemu kembali dirinya menggoda Naura. Rasanya sangat senang melihatnya marah padanya.
"Geez. Dasar kodok sawah mesum."
Raka tergelak mendengar umpatan Naura. "Tak usah sewot begitu, Na," ujarnya ambigu setelah menghentikan gelak tawanya. Melarikan sebelah tangannya ke celana jeans-nya, berupaya mengalihkan gairahnya yang berkumpul di area pusar, sangat terangsang adegan panas di belakangnya. Kemarin malam dirinya bisa melewatinya. Entahlah bila untuk yang kedua kalinya. Ia tak bisa menjamin.
"Maksudmu aku sewot?" Naura menaikkan sebelah alis simetris-nya. Mengabaikan ekspresi Raka mulai berubah. Tidak lagi menjadi datar.
"Gini nih. Ditanya dikit saja sudah marah." Raka menjawab santai. Samar mengembuskan napas lega kala bisa mengenyahkan sedikit rasa gairahnya.
Naura memutar bola mata. Mendengkus kesal tak kentara. "Ya, terserah aku dong, mau sewot apa kagak. Nggak ada hubungan juga denganmu kali."