Naura membelalakkan mata begitu lebar. Menahan napas, layaknya mendengarkan kabar paling buruk dalam hidupnya. Ia terkesiap ketika mendengar suara petir menggelegar di luar jendela. Padahal baru saja terlelap dalam mimpinya. Mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang kusut. Kini kembali terbangun dengan bulir-bulir keringat memenuhi wajahnya. Meraba tonjolan perutnya. Memastikan jabang bayinya baik-baik saja ketika terperanjat kaget tadi.
Saat otaknya masih mencerna apa yang terjadi, cahaya kilat seketika tampak begitu terang di luar jendela disusul dengan suara guntur menggelegar dua kali lipat dari sebelumnya. Setelahnya, bagaikan hujan meteor yang menghantam bumi, langit pun memuntahkan ribuan kubik air ke bumi tanpa henti. Seolah tidak peduli pada satu makhluk yang berteduh sendirian di apartemen di bawah naungan langitnya, hujan deras pun semakin membesar volume-nya.
Naura sangat ketakutan. Tubuhnya menggigil layaknya seorang tawanan perang yang mendapatkan vonis hukuman mati seketika. Ia meringkuk bak janin dalam kandungan sembari menutup kedua telinganya rapat-rapat. Berusaha menulikan telinganya dari suara mengerikan di luar jendela. Satu hal yang paling ditakuti dalam hidupnya, yaitu ketika hujan deras disertai angin dan petir. Karena kedua hal tersebut, mau tak mau memaksanya untuk mengingatkannya akan kenangan pahit di masa lalu. Rahasia kecil yang disimpannya begitu rapat di dalam hatinya.
Di umurnya yang baru berusia lima tahun, dirinya harus menghadapi kenyataan pahit. Ayahnya meninggal karena sakit. Sebulan kematian ayahnya. Ibunya yang telah menjadi janda, karena tak sanggup untuk menghidupi kedua anaknya. Dengan tega meninggalkannya di depan panti asuhan bersama sang kakak perempuannya--Theresia Almira Atmajaya--di tengah malam dalam keadaan hujan deras dan petir yang menggelegar. Menyisakan tangisan memilukan bagi kedua kakak beradik itu sembari menatap lara punggung ibunya yang menghilang ditelan hujan deras dan gemuruh guntur yang mengiringinya.
Lima tahun kemudian. Ketika Naura menginjak umur sepuluh tahun, dan sang kakak berumur dua belas tahun. Disaat mereka berusaha melupakan rasa sakit ditinggal oleh sang ibu. Kejadian menyakitkan kembali terulang. Tiba-tiba saja sang ibu yang telah mencampakkan kedua kakak beradik itu hadir kembali di panti asuhan dengan membawa kabar buruk bagi Naura seorang.
Sang ibu yang telah menikah kembali dengan seorang konglomerat hanya datang mengadopsi sang kakak saja. Membawa Theresia untuk tinggal bersama dengan keluarga suami barunya di rumahnya yang megah di kawasan elit kota Jakarta.
Sedang Naura tetap ditinggalkan di panti asuhan dengan alasan Theresia akan lebih berguna dibandingkan dirinya. Tanpa bisa berbuat banyak, dengan perasaan getir, Naura kecil memandang sendu punggung sang ibu dan kakaknya pergi menjauh di tengah hujan deras. Menangis pun percuma, karena keduanya juga tak peduli padanya dan takkan mungkin bersamanya lagi.
Empat tahun setelah ibunya membawa pergi sang kakak. Tepat Naura berulang tahun yang ke tujuh belas. Ibu kepala panti asuhan memberikan kabar buruk padanya, bahwa sang ibu telah wafat dengan tenang akibat sakit kanker leukimia yang menggerogotinya. Kini, Naura benar-benar menjadi yatim piatu, dan hanya mempunyai keluarga satu-satunya yaitu sang kakak, Theresia.
Dua tahun setelah ibunya wafat, Naura keluar dari panti asuhan yang membesarkannya selama ini. Baginya, sudah waktunya untuk hidup mandiri sebatang kara di luar sana, tanpa bergantung lagi dengan panti asuhan. Setelah keluar dari panti asuhan. Berbekal alamat keluarga baru sang kakak yang diberikan kepala panti asuhan. Naura nekad mencari Theresia, mengabarkan bahwa dirinya telah hidup bebas di luar. Mungkin saja, bila Theresia mau, mereka bisa kembali hidup bersama.
Akan tetapi rasa pahit kembali menghampirinya. Sang kakak tak mau mengakuinya sebagai adiknya lagi. Mengatakan dengan kejam, bahwa sebaiknya tak satu orang pun mengetahui mereka bersaudara. Betapa bodohnya Naura saat itu. Tentu saja Theresia tak mau hidup bersamanya lagi, sebab sang kakak sudah hidup nyaman bersama keluarga tiri ayahnya yang begitu kaya raya. Mana mau Theresia hidup dalam kemiskinan bersamanya.
Disaat menerima kenyataan pahit itulah akhirnya Naura bertemu dengan Neil ketika mencari pekerjaan sembari melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Neil yang punya hati malaikat memberikannya pekerjaan sampingan sembari membantunya mencarikan sewaan rumah. Akhirnya, ia mengontrak di dekat rumah dokter muda itu.
Sebelumnya, Naura dan Neil memang sudah saling mengenal selama kurang lebih dua tahunan. Ketika Naura menjadi pasien rutin--memeriksakan kesehatannya--pada ayahnya Neil. Karena hal itu pula. Neil juga mengetahui rahasia kecil Naura yang mengidap Sindrom Mayer-Rokitansky-Küster-Hauser atau MRKH. Atau dengan kata lain tidak bisa hamil secara normal seperti perempuan pada umumnya.
Sosok Neil yang begitu perhatian dan peduli padanya, membuatnya merasakan kembali arti saudara kandung. Neil pun sudah dianggap kakak kandungnya sendiri, menggantikan sosok Theresia di dalam hatinya. Soal Theresia bersaudara kandung padanya pun disimpannya rapat-rapat. Tak ada yang tahu, bahkan Raka sekali pun yang pernah menjalin hubungan dengannya pun tidak pernah diberi tahu. Begitu pun dengan Neil, meski Naura menceritakan asal usulnya tinggal di panti asuhan, tetapi dia tidak pernah menyinggung soal Theresia.
Selain itu, karena perbuatan ibunya di masa lalu, meninggalkan rasa takut tersendiri baginya. Dalam hubungan percintaan, Naura sangat takut untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Ia takut suatu hari nanti nasibnya akan sama seperti ibunya. Ditinggal pergi pasangan, kemudian dengan tega pula dirinya akan meninggalkan anaknya di panti asuhan. Tidak. Seumur hidup, Naura takkan pernah berbuat kejam seperti ibunya.